Padahal, dalam pengamatan Tuti, sangat jarang perempuan yang dinyatakan terlibat korupsi. "Sampai saat ini saya belum pernah mendengar ada perempuan yang diajukan ke pengadilan untuk kasus korupsi, kecuali perkara dua hakim agung perempuan waktu itu. Bukan berarti tidak ada, tapi saya belum mendengar," tuturnya.
Tabel
Sebagian Perempuan Pendaftar Calon Pimpinan KPK
Nama | Pekerjaan |
Hj Mutmainah Sjahrroni, SH | Pensiunan PNS |
Hj Tri Suyantiningsih, PhD | Dosen, psikolog |
Ny Siti Warda Tori, SH | Pensiunan jaksa tinggi, konsultan hukum |
Dra Noffiani RS | Dirut PT Putri Sekandung Indah |
Marlini Siregar | Advokat |
Sri Lestari | Lulusan STIE Bhakti Pembangunan |
Marsaulina Manurung, SH | Advokat |
Dalam penilaian Tuti, kecenderungan perempuan untuk melakukan kejahatan, tidak hanya korupsi, memang lebih rendah dari laki-laki. Menurut catatan yang pernah dibuat Tuti, berdasarkan hasil penelitian BPS, pelaku kejahatan yang perempuan hanya sekitar 3%. Dari 65.000 lebih narapidana di LP, jumlah perempuan sedikit sekali. LP perempuan juga hanya ada di beberapa tempat dan jumlah narapidananya juga kecil. Namun Tuti menyatakan belum pernah menemukan hasil penelitian yang menjelaskan mengapa kecenderungan perempuan untuk melakukan kejahatan rendah.
Memang, tidak ada bukti kuat bahwa perempuan lebih tahan terhadap godaan korupsi dibanding laki-laki. Tetapi, menurut sosiolog Universitas Indonesia Ida Ruwaida, perempuan cenderung memiliki rasa khawatir dan ketakutan yang lebih besar untuk menyimpang dari pakem yang sudah ada dibanding laki-laki. Ida justeru mengkritisi pemikiran yang menganggap bahwa kaum perempuan tidak akan sanggup melaksanakan investigasi kasus-kasus korupsi. Senada dengan Harkristuti, yang lebih penting menurut Ida adalah memompa semangat kaum perempuan untuk maju. "Mungkin rasa pede-nya yang harus disuntik," ujarnya.
Bukan perhatian
Selain minim di tingkat pencalonan secara pribadi, lembaga-lembaga yang selama ini banyak menyuarakan nasib perempuan, semisal LBH APIK dan Koalisi Perempuan, juga tidak mengajukan calon.
Sekjen Koalisi Perempuan, Nursyahbani Kartjasungkana menyatakan bidang korupsi tidak menjadi perhatian utama kaum perempuan. Dalam realitasnya, bidang ini sangat terkait dengan masalah-masalah politik yang jauh dari dunia perempuan. Apalagi untuk terjun dalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan seperti KPK, perempuan mempunyai kendala struktural maupun kultural. Selama ini, perempuan tidak pernah dipersiapkan untuk terlibat dan tidak terekspos untuk masalah-masalah seperti itu, sehingga ada kegamangan juga untuk memasuki dunia itu. Hal yang sama dikatakan sosiolog Ida Ruwaida.
Jadi, menurut Nursyahbani, rendahnya keterlibatan perempuan menjadi pimpinan KPK merupakan bagian dari rendahnya keterlibatan perempuan dalam bidang politik dan publik seperti di DPR.
Kurangnya sosialisasi juga dituding sebagai salah satu penyebab sedikitnya pendaftar perempuan. Kurangnya sosialisasi itu juga, kata Nursyahbani, yang menyebabkan koalisi perempuan tidak mengajukan calon secara resmi. "Saya hanya mengikuti seleksi pimpinan komisi, kalau untuk anggota, saya tidak mendapatkan informasi,"ujarnya kepada hukumonline.
Minimnya jumlah pendaftar perempuan, menurut Vonny Reynata, Ketua LBH APIK, menjadi suatu indikasi bahwa masalah mengenai korupsi masih dianggap tidak secara langsung menyentuh persoalan-persoalan perempuan. Korupsi tidak terlalu banyak diminati perempuan, walau LBH APIK menganggap pemberantasan korupsi merupakan agenda nasional yang harus digarap secara serius.
Salah seorang Panitia Seleksi calon pimpinan KPK, Harkristuti Harkrisnowo menyayangkan sedikitnya jumlah perempuan yang mendaftar sebagai calon pimpinan KPK. Bahkan, ia sampai merasa perlu meminta pada media untuk menghimbau para perempuan agar mendaftar.
Sayang, hingga masa penutupan terakhir Senin kemarin, jumlah perempuan yang mendaftar tetap minim. Satu hari menjelang penutupan pendaftaran, tercatat kurang dari sepuluh orang perempuan yang mencalonkan diri.
Harkristuti menduga, rendahnya minat perempuan untuk mendaftar disebabkan masih adanya persepsi dalam masyarakat yang menganggap masalah kejahatan adalah masalah laki-laki. "Kita bisa lihat berapa orang sih kriminolog perempuan,' ujarnya. Ia juga menduga para perempuan mungkin tidak mau repot dan lebih banyak pertimbangan sosialnya.