Minim Regulasi, Pemberantasan Cybercrime di Indonesia Menjadi Rumit
Utama

Minim Regulasi, Pemberantasan Cybercrime di Indonesia Menjadi Rumit

Formulasi hukum yang ada belum dapat menjangkau perkembangan kejahatan yang dilakukan di dunia maya.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul (FHUEU), Wasis Susetio.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul (FHUEU), Wasis Susetio.

Era digitalisasi mengubah pola hidup masyarakat. Hampir seluruh kegiatan harian masyarakat erat hubungan dengan gadget dan internet. Perubahan pola hidup masyarakat ini biasa disebut sebagai transformasi aktivitas keseharian, yang bukan hanya di sektor komersil seperti perdagangan, namun hampir menyentuh seluruh kegiatan manusia termasuk kesehatan dan pendidikan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul (FHUEU) Wasis Susetio menyampaikan bahwa transformasi dunia nyata ke dalam cyberspace (dunia maya) membentuk ekosistem cyberspace. Dalam situasi ini, hukum telematika menjadi instrument ketertiban, keamanan, dan keadilan dalam cyberspace. Sebagai bagian dari sistem hukum maka perlu diperhatikan substansi, struktur, dan budaya ekosistem dari cyberspace.

Namun di era serba digital, Wasis menilai keamanan siber di Indonesia masih rentan terhadap serangan cybercrime. Bahkan cenderung terjadi peningkatan serangan siber dari tahun ke tahun. Mengutip catatan pusat operasi keamanan siber nasional BSSN sepanjang periode Januari hingga Agustus 2020 terdapat 190 juta serangan siber, dan 36.771 akun data yang tercuri di sejumlah sektor, termasuk sektor keuangan. serangan tersebut dicatat mengalami kenaikan peningkatan lima kali lipat dari tahun 2019.

Di tahun 2021 angka serangan siber juga mengalami peningkatan. Menurut Kaspersky, perusahaan kemananan siber mengungkapkan 40 persen konsumen dari Asia-Pasifik menghadapi insiden kebocoran data pribadi yang diakses orang lain tanpa persetujuan pemiliknya.

Baca Juga:

Wasis menyebut karakteristik dunia maya seperti tidak ada batas, selalu tersedia selama 24 jam, tak perlu izin saat menggunakan, dan tanpa sensor menjadi permasalahan tersendiri dalam konteks hukum. Khususnya terkait berbagai hubungan perdata maupun pidana ketika terjadi kejahatan.

“Indonesia termasuk rawan di dunia tehadap serangan cyber, harusnya ada biro security yang mengawasi dan menjaga BSSN dan untuk melihat seberapa besar serangan siber. Apalagi cyberspace itu tak ada batas, tidak ada sensor, semuanya bebas dan ini memnimbulkan berbagai macam risiko. Risiko itu bisa hubungan perdata maupun pidana. Yang harus diperhatikan pembentuk hukum harus melihat kemajuan teknologi dan mengetahui pola kejahatannya,” kata Wasis dalam sebuah Webinar, Rabu (30/3).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait