Pemberantasan kejahatan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sedianya sudah diatur dalam UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun dalam praktik penggunaan mekanisme TPPU dalam pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih belum optimal.
Mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menilai penggunaan mekanisme TPPU dalam pemberantasan korupsi oleh KPK masih belum berjalan maksimal. Setidakny ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki lembaga antirasuah itu dalam menyidik dan menuntut berkaitan kejahatanTPPU yang ditangani KPK.
Salah satu yang jadi sorotan, KPK belum pernah menggunakan kewenangan menunda transaksi harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Padahal sesuai dengan Pasal 70) UU 8/2010, Yunus menjelaskan penyidik dan penuntut umum memiliki kewenangan memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan penundaan transaksi terhadap harta kekayaan yang diketahui dan diduga hasil kejahatan.
Pasal 70 ayat (1) menyebutkan, “Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan penundaan Transaksi terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana”. Sedangkan ayat (3) menyebutkan, “Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja”.
Kemudian ayat (4) menyebutkan, “Pihak Pelapor wajib melaksanakan penundaan Transaksi sesaat setelah surat perintah/permintaan penundaan Transaksi diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim”. Sedangkan ayat (5) menyebutkan, “Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan penundaan Transaksi kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang meminta penundaan Transaksi paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan penundaan Transaksi”.
“Pergunakanlah Pasal 70 UU TPPU untuk mencegah hilangnya harta kekayaan hasil korupsi,” ujar Yunus dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Anti-Corruption Authorities (ACAs) Assessment 2023” Transparency International Indonesia di Jakarta, Senin (5/6/2023) kemarin.
Baca juga:
- PPATK Temukan Potensi Kerugian Negara dalam Impor Pakaian Bekas
- PPATK Sebut Transaksi Mencurigakan Rp300 Triliun di Kemenkeu sebagai TPPU
Yunus berpandangan, KPK masih menjerat pelaku menggunakan Pasal 3 dan 4 UU 8/2010 secara alternatif. Padahal penerapan kedua pasal tersebut secara kumulatif dalam dakwaan dimungkinkan. Selain itu, KPK dalam penyidikan dan penuntutan perkara belum pernah menyidik dan menuntut perkara yang bersifat third party money laundering dan stand-alone money laundering yang berasal dari kejahatan korupsi. Padahal, penerapan keduanya dapat memberi efek jera sekaligus mengoptimalkan pemulihan aset.
“Terapkanlah third party money laundering dan stand-alone money laundering untuk memberikan efek jera dan meningkatkan asset recovery,” imbuh Yunus.
Pria yang juga berprofesi sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menilai, KPK belum pernah menerapkan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) untuk harta kekayaan hasil korupsi. Yunus menjelaskan, Pasal 67 UU 8/2010 terkait NCB dapat diterapkan untuk meningkatkan pemulihan aset.
Terakhir, KPK pun belum pernah menerapkan Pasal 5 UU 8/2010 untuk pelaku yang menerima, menguasai dan menggunakan harta kekayaan hasil Tipikor. Yunus menyarankan agar KPK mengoptimalkan penggunaan mekanisme TPPU jika ingin memaksimalkan pemulihan aset dalam pemberantasan korupsi. Terdapat hubungan kuat antara korupsi dengan TPPU yang dilihat secara yuridis dan sosiologis.
Secara yuridis, korupsi merupakan tindak pidana asal (Predicate Crime) dari tindak pidana pencucian uang Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010. Sementara secara sosiologis, korupsi merupakan salah satu sumber TPPU. Kendati demikian, KPK masih amat sedikit menuntut perkara korupsi menggunakan UU 8/2010.
“Sejak 2004-2022, hanya 9,27% atau 50 perkara dari 539 perkara korupsi yang ditangani KPK menggunakan TPPU,” pungkasnya.