Minta Penyiksaan dalam Penyidikan Distop, LSM Gugat Kapolri
Berita

Minta Penyiksaan dalam Penyidikan Distop, LSM Gugat Kapolri

Penggugat berharap polisi mematuhi rekomendasi-rekomendasi Komite Anti Penyiksaan PBB.

Oleh:
Nov/Rzk
Bacaan 2 Menit

 

Ditemui di sela-sela sebuah acara, Direktur LBH Jakarta, Asfinawati, memberikan sekilas gambaran. Korban dalam 18 kasus ini nanti akan menjadi saksi di persidangan. Untuk memberikan perlindungan, identitas mereka harus dirahasiakan. Asfinawati khawatir, apabila identitas saksi terbongkar sebelum persidangan dimulai, kemungkinan ada pihak yang mengintimidasi. Sehingga mempengaruhi mereka dalam bersaksi, ujar lulusan Fakultas Hukum UI yang biasa disapa Asfin itu.

 

PN Jakarta Pusat sudah mengagendakan dua kali persidangan. Sidang perdana 22 Juli lalu, tak dihadiri kuasa hukum Kapolri; dan sidang kedua pada Selasa (05/8) kemarin. Asfin berharap gugatan legal standing mereka dikabulkan. Pasalnya, mereka menyasar tindakan polisi yang seolah mengabaikan rekomendasi-rekomendasi sidang Komite Anti Penyiksaan (Committee Against Torture/CAT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 5-8 Mei 2008 lalu.

 

Salah satu rekomendasi CAT saat itu adalah mengeliminir praktek penyiksaan, khususnya saat melakukan penyidikan. Pengakuan yang didapat dengan cara kekerasan atau penyiksaan akan dianggap tidak sah secara hukum.

 

Dalam praktik, sudah menjadi tugas penyidik untuk mengejar pengakuan tersangka. Yang disesalkan para penggugat adalah jika upaya mengejar pengakuan tersangka dilakukan dengan kekerasan. Padahal, dari sisi hukum acara pembuktian, pengakuan tersangka berada pada strata terendah dibanding alat bukti lain. Asfin yakin praktik semacam itu masih terjadi. Untuk itu, ia meminta adanya exclusion evidence atas alat bukti yang didapat dengan cara tidak sah, seperti penyiksaan.

 

Asfin menyadari bahwa hukum acara pidana memungkinkan praperadilan. Tetapi, mekanisme praperadilan hanya memeriksa secara formal tentang sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan. Dengan kata lain, praperadilan tak menjamah sama sekali penyiksaan dalam penyidikan.

 

Dalam petitumnya, TAJAP meminta para tergugat mengganti kerugian immateril sebesar Rp100 Juta untuk –salah satunya- membiayai percepatan pembahasan revisi KUHAP dan ratifikasi Protokol Optional Konvensi Anti Penyiksaan. Selain immateril, ada juga tuntutan ganti rugi materil sebesar Rp60 Juta. Menurut Edy, gugatan materiil ini digunakan untuk menutup rangkaian kampanye anti penyiksaan yang selama ini mereka galang, misalnya lewat penerbitan buku atau pamflet.

 

Selama ini, gugatan legal standing tidak mengenal tuntutan ganti rugi. Pasal 38 ayat (2) UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup -yang mereka gunakan sebagai pijakan- menjelaskan tidak ada tuntutan ganti rugi dalam upaya gugatan legal standing. Namun, ada pengecualian, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Biaya semacam inikah yang dimaksudkan TAJAP?

Halaman Selanjutnya:
Tags: