Minyak Goreng Masih Langka, Ini Opsi yang Ditawarkan Ombudsman
Terbaru

Minyak Goreng Masih Langka, Ini Opsi yang Ditawarkan Ombudsman

Apabila harga minyak goreng kemasan premium dan sederhana diserahkan sesuai mekanisme pasar, maka para produsen akan bersaing sehingga menutup celah bagi spekulan.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi warga yang antusias membeli minyak goreng dengan harga murah. Foto: RES
Ilustrasi warga yang antusias membeli minyak goreng dengan harga murah. Foto: RES

Problematika harga dan pasokan minyak goreng hingga saat ini masih menjadi perdebatan publik. Pasalnya meski pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menstabilkan harga minyak goreng salah satunya lewat HET, nyatanya harga tidak mengalami penurunan dan stok minyak goreng di pasaran masih langka.

Atas situasi ini Ombudsman menilai akar permasalahan dari kelangkaan minyak goreng dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah disparitas harga yang mencapai Rp 8.000 - 9.000/Kg. Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menyampaikan opsi agar pemerintah memberlakukan HET hanya untuk minyak goreng curah, sedangkan untuk kemasan premium dan sederhana harga mengikuti mekanisme pasar.

"Untuk menghilangkan disparitas harga minyak goreng yang menyebabkan kelangkaan ini, opsi pertama yang dapat dilakukan Pemerintah adalah  melepaskan minyak goreng kemasan premium dan sederhana dari kebijakan HET  dan ikut mekanisme pasar. HET hanya berlaku untuk curah dengan jaringan distribusi khusus di pasar pasar tradisional dengan mekanisme pengawasan yang transparan dan akuntabel," terang Yeka dalam Konferensi Pers Daring, Selasa (15/3).

Yeka menjelaskan, apabila harga minyak goreng kemasan premium dan sederhana diserahkan sesuai mekanisme pasar, maka para produsen akan bersaing sehingga menutup celah bagi spekulan. "Para spekulan memanfaatkan disparitas harga minyak goreng di pasar tradisional yang sulit untuk diintervensi Pemerintah. Aktifitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng," ujar Yeka.

Baca:

Ia menambahkan, dampak dilepaskannya harga minyak goreng pada mekanisme pasar adalah harga minyak goreng akan naik. Oleh karena itu pemerintah perlu melindungi kelompok masyarakat yang rentan seperti keluarga miskin dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui mekanisme bantuan langsung tunai (BLT).

"Agar tidak membebankan APBN, untuk keperluan BLT, pemerintah dapat meningkatkan pajak dan levy(pungutan ekspor) produk turunan Crude Palm Oil (CPO)," imbuhnya.

Meskipun Ombudsman menawarkan opsi HET hanya untuk minyak goreng curah, namun kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) tetap diberlakukan untuk menjamin ketersediaan minyak goreng domestik. DMO adalah kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik bagi perusahaan atau kontraktor minyak CPO dalam negeri.

Berdasarkan hasil pemantauan Ombudsman, dugaan penyebab kelangkaan minyak goreng di antaranya adalah perbedaan data DMO yang dilaporkan dengan realisasinya, kebijakan DMO tanpa diikuti oleh mempertemukan eksportir CPO atau olahannya dengan produsen minyak goreng, masih ditemukan panic buying,  serta dugaan adanya aktivitas rumah tangga atau pelaku usaha UMKM meningkatkan stok minyak goreng sebagai respons terhadap belum adanya jaminan ketersediaan minyak goreng, terlebih lagi menghadapi puasa dan hari raya.

Ombudsman juga menyoroti gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah dalam mengendalikan harga. "Fungsi pengawasan akan sulit dilakukan apabila masih terjadi disparitas harga. Alih-alih memperlancar ketersediaan minyak goreng, stok minyak goreng malah langka. Ombudsman RI meminta Pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan mengenai HET, DMO dan DPO," tegasnya.

Yeka mengatakan Ombudsman berencana meningkatkan status dari pemantauan menjadi pemeriksaan atas prakarsa sendiri terhadap permasalahan minyak goreng ini. "Kita akan uji apakah terjadi potensi maladministrasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait minyak goreng. Jika ada, Ombudsman akan menyampaikan tindakan korektif apa saja yang perlu dilakukan pemerintah," ujar Yeka.

Hasil pemantauan Ombudsman sendiri hingga 14 Maret 2022 di 274 pasar, Yeka mengatakan terjadi perubahan karakter pasar, dimana untuk pasar modern, ritel modern, ritel tradisional seiring dengan berjalannya waktu semakin patuh terhadap ketentuan HET meskipun lambat. Pasar modern dari sebelumnya (22 Februari 2022) 69,85% menjadi 78,94% (14 Maret 2022), adapun ritel modern dari 57,14% menjadi 74,19% dan ritel tradisional dari 10,19% menjadi 16,67%. Kondisi terbalik pada pasar tradisional sebagai pasar paling banyak konsumen ternyata semakin menurun tingkat kepatuhannya terhadap HET dari sebelumnya 12,82% menjadi 4,25%.

Adapun besaran harga berdasarkan data per 22 Februari 2022, harga rata-rata minyak curah di ritel tradisional Rp.15.500. Adapun rata-rata minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp. 16.000, dan minyak goreng kemasan premium sebesar Rp.20.500. Harga perwilayah dapat dicontohkan wilayah Sumatera berkisar antara Rp.13.650 - Rp. 25.100, harga rata-rata tertinggi terjadi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara yaitu minyak premium di pasar tradisional yang berkisar pada harga rata-rata Rp 32.000.

Besaran harga berdasarkan data per 14 Maret 2022 relatif stabil sesuai harga HET, namun untuk Kalimantan terdapat harga dengan rata-rata tertinggi sebesar Rp. 36.250, di ritel tradisional untuk minyak jenis premium.

Ketersediaan minyak goreng berdasarkan hasil pemeriksaan Ombudsman RI merujuk hasil pemeriksaan pada 22 Februari 2022 dibandingkan hasil pemeriksaan pada 15 maret 2022 untuk minyak curah ketersediaannya naik sebesar 2,5%. Adapun untuk minyak goreng kemasan sederhana ketersediaanya turun 12,7%. Sedangkan untuk premium ketersediaannya turun sebesar 31,11%.

Sebelumnya Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan persoalan minyak goreng ini tidak hanya terjadi di hilir tetapi perlu dilihat dari hulu.

“Persoaan hulu adalah persoalan pasar atau persaingan, kita bisa lihat apakah ada dugaan kartel atau oligopoli dan bentuk persaingan tidak sehat lainnya. Sedangkan soal hulunya, pemerintah dinilai tidak efektif dalam menentukan kebijakan satu harga karena komoditas minyak goreng yang tidak dikuasai pemerintah,” ujarnya beberapa waktu lalu.

YLKI pun melayangkan lima catatan terkait polemik minyak goreng terhadap pemerintah. Pertama, persoalan hulu yang belum terungkap. Pemerintah dinilai tidak menguasai persoalan minyak goreng, karena pemerintah tidak memegang barangnya, berbeda dengan beras yang memiliki lembaga pemerintah yang mengaturnya yaitu bulog, sedangkan minyak goreng dipegang oleh swasta.

Persoalan hulu harus di kulik, karena indikator tersebut mengkhawatirkan bisnis Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng, yang ditengarai dipegang oleh produsen besar yang sama, sehingga berpotensi adanya praktek persaingan tidak sehat.

Kedua, masyarakat masih mengantri untuk mendapatkan minyak goreng yang artinya kekacauan ini belum pulih. YLKI telah melakukan survei terhadap keberadan ketersedian minyak goreng di kawasan Jabodetabek yg hasilnya hanya 10% yang menyediakan minyak goreng yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Ketiga, Pemerintah kurang mengantisipasi adanya fenomena global bisnis CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Di satu sisi Indonesia penghasil CPO terbesar, tapi nyatanya ada beberapa poin yang tidak diantisipasi bahwa harga ditentukan bukan oleh Indonesia tetapi oleh negara lain.

Keempat, Adanya bahan baku CPO untuk sektor energi. Saat ini Pemerintah sedang getol membuat kebijakan B30 untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan dan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan. Dan kelima, intervensi harga yang ditetapkan pemerintah tidak mengatasi persoalan karena hulunya bermasalah.

Tags:

Berita Terkait