MK: Eksekusi Jaminan Fidusia Lewat Pengadilan Hanya Alternatif
Terbaru

MK: Eksekusi Jaminan Fidusia Lewat Pengadilan Hanya Alternatif

Dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik adanya wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan fidusia. Bila debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan dengan mudah oleh kreditur.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia). Sebab, dalil permohonan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terkait eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Apalagi norma yang dimohonkan Pemohon telah dipertimbangkan dan diputus dalam Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019.

Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor 2/PUU-XIX/2021, Selasa (31/8/2021) lalu. (Baca Juga: Dirugikan Putusan MK, Debt Collector Uji Aturan Eksekusi Jaminan Fidusia)  

Permohonan ini diajukan Joshua Michael Djami, karyawan perusahaan finance dengan jabatan Kolektor Internal yang telah memiliki sertifikasi profesi di bidang penagihan. Dia memohon pengujian Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia yang menyebutkan, “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” 

Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia menyebutkan, “Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan ‘kekuatan eksekutorial’ adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.”

Diwakil kuasa hukumnya, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, pemohon menilai ketentuan eksekusi jaminan dalam Pasal 15 UU Jaminan Fidusia telah mengakibatkan hilangnya perlindungan hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ini disebabkan adanya kedudukan yang lebih berat ke satu pihak, dimana kreditur (penerima fidusia/perusahaan leasing) harus membawa perkara ini ke pengadilan. Sementara debitur (konsumen) tidak harus membawa perkara ini ke pengadilan.

Menurut dia, ketentuan eksekusi jaminan fidusia memberi celah bagi debitur untuk mengulur waktu melarikan barang jaminan fidusia, sehingga memberi ruang terjadinya kejahatan. Selain itu, berlakunya pasal itu saat ini telah menghancurkan lahan profesi (collector dan financing) yang legal dan diakui MK sendiri dalam Putusan MK No. 19/PUU-XVIII/2020. Hal ini mengakibatkan hilangnya pendapatan dan penghidupan yang layak bagi pemohon.

Bagi pemohon, ketidakseimbangan hak yang menjadi berat ke debitur karena dalam perjanjian dituliskan syarat wanprestasi debitur tetap bisa mengelak dengan mengatakan harus dibuktikan dulu ke pengadilan. Akibatnya, kreditur yang beriktikad baik yang sudah sesuai prosedur tetap saja terjegal dan tidak mendapat perlindungan hukum yang adil.

Tags:

Berita Terkait