MK: Terpidana-Terdakwa Boleh Nyalon Kepala Daerah, Kecuali…
Berita

MK: Terpidana-Terdakwa Boleh Nyalon Kepala Daerah, Kecuali…

Kecuali, tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih dan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, tidak pidana terhadap keamanan negara, atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Suasana Sidang Sengketa Hasil Pilkada 2017 di Depan Gedung MK Jakarta. Foto: RES
Suasana Sidang Sengketa Hasil Pilkada 2017 di Depan Gedung MK Jakarta. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi beberapa pasal terutama Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) terkait syarat calon kepala daerah tidak sedang berstatus terpidana dalam tindak pidana apapun yang kemudian ditafsirkan termasuk tindak pidana percobaan atau tindak pidana ringan.    

Namun, dalam putusannya, Mahkamah memberi penegasan bahwa terpidana atau terdakwa masih boleh mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah selama tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun penjara, terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan, dan tindak pidana politik. Kecuali, terpidana atau terdakwa yang tindak pidananya ancaman hukuman penjara 5 tahun atau lebih dan tindak pidana korupsi, makar, teroris, mengancam keselamatan negara, memecah belah NKRI.  

“Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa ‘tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dimaknai 'tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih',” tutur Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan No. 71/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan Rusli Habibie di Gedung MK Jakarta, Rabu (19/7/2017).

Dalam amar putusan itu, dikecualikan terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa. Atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Dalam amar putusannya, MK juga memutuskan Pasal 163 ayat (7) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang kata “terdakwa” tidak dimaknai “terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, tidak pidana terhadap keamanan negara, atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI, kecuali kealpaan dan tindak pidana politik dalam suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.

“Pasal 163 ayat (8) tidak mempunyai kekuatan mengikat secara bersyarat sepanjang kata ‘terpidana’ tidak dimaknai ‘terpidana berdasarkan karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, tidak pidana terhadap keamanan negara, atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI, kecuali kealpaan dan tindak pidana politik dalam suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa’. Lalu, uji materi Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) tidak dapat diterima,” ujar arif. (Baca juga:Eks Gubernur Aceh Persoalkan Larangan Mantan Napi Ikut Pilkada)

Sebelumnya, Rusli Habibie menguji Pasal 7 ayat (2) huruf g, Pasal 163 ayat (7), (8) dan Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016. Misalnya, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada potensial menghalangi Pemohon maju dipilih menjadi kepala daerah karena frasa ”….karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 tahun atau lebih” dalam Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 dihapus dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10 Tahun 2016.

Menurutnya Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) dan Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) telah merampas hak Pemohon. Sebab, Pemohon memiliki hak untuk dipilih tetapi jika dikaitkan dengan status Pemohon sebagai terdakwa maka jika terpilih akan otomatis diberhentikan sementara.

Kini, Rusli Habibie kembali terpilih sebagai Gubernur Gorontalo periode 2017-2022. Belum lama ini, ia pernah berstatus terpidana percobaan gara-gara menghina/memfitnah mantan Kabareskrim Polri Budi Waseso, yang sempat dipersoalkan ketika hendak mencalonkan kembali dalam Pemilihan Gubernur Gorontalo pada Pilkada 2017 (petahana).

Rusli divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Gorontalo pada awal Agustus 2016 hingga putusan kasasi. Rusli dihukum selama pidana 1 tahun penjara dengan masa  percobaan 2 tahun karena dianggap terbukti melakukan fitnah sesuai dakwaan Pasal 317 ayat (1) subsider Pasal 311 KUHP jo Pasal 316 KUHP.  

Usai persidangan, Kuasa Hukum Rusli Habibie, Heru Widodo mengatakan sebenarnya permohonan kliennya dikabulkan seluruhnya. Seperti kasus Rusli Habibie ini pernah berstatus terpidana dengan perkara percobaan dan ancaman hukumannya di bawah 5 tahun yang sempat terhalang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Ini disebabkan karena syarat ancaman tindak pidananya yang dilakukan terdakwa atau terpidana tidak ada batasan ancaman pidana 5 tahun atau lebih.   

“Jadi, apabila ancaman pidana di bawah 5 tahun penjara boleh mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Ini sinkron dengan aturan lain seperti UU Pemilu, syarat menjadi anggota MK, BPK, MA, semua syaratnya tidak pernah menjadi terpidana yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara,” katanya.

Juru Bicara MK Fajar Laksono menjelaskan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 bermakna larangan bagi terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah apabila melakukan tindak pidana dengan ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih, kecuali tindak pidana karena kelalaian (culpa) dan beda pandangan politik.  

“Sementara ‘mantan terpidana’ yang melakukan tindak pidana apapun dengan ancaman hukuman pidana berapapun, sepanjang telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa mantan terpidana, memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah,” katanya.
Tags:

Berita Terkait