MK Batalkan Kewenangan Dewas KPK Terkait Izin Penyadapan, Penggeledahan, Penyitaan
Utama

MK Batalkan Kewenangan Dewas KPK Terkait Izin Penyadapan, Penggeledahan, Penyitaan

Karena Dewas KPK bukan aparat penegak hukum. Kini, tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan oleh KPK cukup diberitahukan kepada Dewas KPK dalam tenggang waktu 14 hari kerja sejak selesainya tindakan pro justitia tersebut.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit

Berkenaan penggeledahan dan/atau penyitaan pun tidak diperlukan lagi izin dari Dewan Pengawas dan hanya berupa pemberitahuan, konsekuensi yuridisnya sepanjang frasa “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas” dalam Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 harus dimaknai menjadi “dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas”. Begitu pula dengan Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 meskipun tidak dimohonkan para Pemohon, tapi karena tidak ada relevansinya lagi untuk dipertahankan, maka harus dinyatakan inkonstitusional.

“Dengan demikian Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 selengkapnya menjadi berbunyi ‘Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas’,” demikian bunyi angka 7 amar putusan ini.  

Jangka waktu penerbitan SP3

Dalam permohonannya, para Pemohon menilai Pasal 40 ayat (1) UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena adanya frasa “yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini karena penyidikan dan penuntutan merupakan dua proses yang berbeda serta ketidakpastian hukum mengenai darimana penghitungan waktu akan dimulai.

Mahkamah menilai adanya ketentuan tenggang waktu 2 tahun untuk melakukan penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur Pasal 40 ayat (1) UU KPK adalah kekhususan yang diberikan kepada KPK. Kewenangan menghentikan penyidikan dan/atau penuntutan dapat dijadikan sebagai salah satu alasan KPK menentukan seorang tersangka harus mempunyai bukti yang kuat, sehingga dalam batas penalaran yang wajar tenggang waktu 2 tahun tersebut terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Penghitungan 2 tahun ini merupakan bentuk akumulasi sejak proses penyidikan, penuntutan, hingga dilimpahkan ke pengadilan. Apabila telah melewati jangka waktu 2 tahun perkara tersebut tidak dilimpahkan ke pengadilan dan KPK tidak menerbitkan SP3, maka tersangka dapat mengajukan praperadilan.

Bagi Mahkamah, kekhawatiran para Pemohon mengenai tidak adanya kepastian penghitungan sejak kapan dikeluarkannya SP3 dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK beralasan menurut hukum sepanjang frasa “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” tidak dimaknai menjadi “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya SPDP.

“Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 selengkapnya berbunyi ‘Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya SPDP’.” demikian bunyi angka 5 amar putusan ini.

Tags:

Berita Terkait