MK Diminta Benahi Etika Hakimnya
Berita

MK Diminta Benahi Etika Hakimnya

Disebabkan Ketua MK Arief Hidayat dua kali melanggar etik.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Dia mengungkapkan alasan Dewan Etik yang menyatakan Arief melakukan perbuatan tercela dapat dikatakan ia sudah tidak layak lagi menjadi ketua MK dan hakim konstitusi karena telah memiliki perbuatan tercela. “Jadi, salah satu cara memperbaiki MK, harus dibangun kembali kesadaran etik individual hakim konstitusi itu tersendiri yang harus lebih dimaksimalkan,” harapnya.

 

Direktur Pusako Fakultas Hukum Andalas Feri Amsari mengatakan salah satu sebab MK saat ini lemah dari sisi penerapan etiknya, karena unsur pengawasan hakim MK berada di lembaga MK sendiri yakni Dewan Etik. Hal ini menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan. “Seharusnya dipisahkan, tetapi sayangnya dulu fungsi pengawasan KY terhadap hakim konstitusi dibatalkan oleh MK,” ujarnya.

 

Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru menilai kalau hakim konstitusi tak bisa menjaga moral dan integritas lebih baik mundur. Bagi Monica, Arief seharusnya mundur untuk menunjukan sikap negarawan. Dua pelanggaran etik Arief merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita MK yang lahir sebagai anak kandung reformasi untuk menjaga konstitusi Indonesia. 

 

"Masyarakat sipillah yang menegakan reformasi, MK itu adalah anak kandung reformasi. Jadi kami ingin mengembalikan kembali marwah MK yang hancur karena itu," kata dia. (Baca Juga: Dinilai Ciderai Marwah MK, Arief Hidayat Kembali Diminta Mundur)

 

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai pelanggaran etik Ketua MK Arief Hidayat berpotensi menciptakan gonjang-ganjing politik berkepanjangan. Apalagi di tahun politik, MK menjadi institusi yang memiliki kewenangan dan peranan besar dalam menentukan masa depan siapa yang akan menjadi pemimpin, baik presiden maupun kepala daerah, dan orang-orang yang bakal duduk di Senayan.

 

“Pelanggaran etik oleh Arief Hidayat telah meruntuhkan kepercayaan publik. Orang akan berpikir bagaimana MK akan memutus dengan adil, toh ketuanya saja dan juga salah satu hakim masih saja merasa tidak ada hal yang salah dengan dua kali melanggar etik? "Bagaimana mungkin orang bisa berharap dia bisa menyelesaikan sengketa pemilu atau pilkada secara fair, adil?”

 

Menurutnya, potensi meningkatnya jumlah perkara baik sengketa pilkada maupun pemilu yang ditangani MK akan sangat mengkhawatirkan jika tidak ada kepercayaan dari publik atas putusan MK yang bersifat final dan binding, tidak ada upaya hukum lagi setelah keluarnya putusan tersebut.

 

"Ini kan soal gonjang-ganjing politik yang bisa berkepanjangan. Itu mengkhawatirkan transisi elit pemerintahan di tingkat nasional dan daerah. Kalau kemudian orang tidak percaya terhadap putusan MK dan itu dijadikan alat mobilisasi untuk menimbulkan kegaduhan, ini kan sangat mengkhawatirkan," katanya.

Tags:

Berita Terkait