MK Diminta Nyatakan Penggunaan Narkotika Golongan I Bisa untuk Kepentingan Medis
Berita

MK Diminta Nyatakan Penggunaan Narkotika Golongan I Bisa untuk Kepentingan Medis

Majelis meminta para pemohon memperbaiki bagian kewenangan MK, legal standing, dan petitum permohonan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Dikutip dari Harvard Health Publishing yang menyebut beberapa penelitian di luar negeri menunjukkan adanya manfaat medis dari penggunaan ganja bagi pasien, seperti untuk penderita epilepsi. Bahkan, di 35 negara bagian Amerika Serikat, melegalkan penggunaan ganja untuk tujuan medis. Tetapi, di Indonesia, ganja termasuk dalam Narkotika Golongan I sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang penggunaannya dapat terkena sanksi pidana.

Hal ini memicu sejumlah ibu dari pasien celebral palsy (kelainan gerakan pada bagian tubuh) serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat melayangkan uji materi Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut. Pemohonnya yakni Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI).

Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo, Erasmus Abraham selaku kuasa hukum para pemohon menerangkan tiga orang pemohon perseorangan merupakan para ibu dari anak yang menderita celebral palsy. Dwi Pertiwi, salah seorang ibu yang menjadi pemohon, terungkap pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam.

Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi pemohon perkara ini. “Adanya larangan tersebut telah secara jelas, menghalangi Pemohon I untuk mendapat pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak pemohon,” ujar Erasmus dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK, Rabu (16/12/2020) seperti dikutip laman MK.

Sementara kedudukan hukum Perkumpulan Rumah Cemara, ICJR, dan LBHM merupakan organisasi nirlaba yang didirikan dengan tujuan agar masyarakat dapat terpenuhi akses terhadap pelayanan kesehatan. Dikatakan Ma’ruf, selaku kuasa hukum para Pemohon lain, Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah mengakibatkan hilangnya hak para pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Ia menjelaskan, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan bahwa Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selanjutnya, dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, jelas disebutkan narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin konstitusi.

Tags:

Berita Terkait