MK Diminta Tafsirkan Tindak Pidana Kedokteran
Berita

MK Diminta Tafsirkan Tindak Pidana Kedokteran

Pidana kedokteran seharusnya hanya terbatas pada tindakan yang mengandung unsur kesengajaan atau kelalaian.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
MK Diminta Tafsirkan Tindak Pidana Kedokteran
Hukumonline
Ketentuan pidana dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dianggap masih belum memberikan kepastian hukum bagi profesi dokter guna menunjang layanan kesehatan yang berkualitas. Bahkan, sebagian materinya dianggap menjadi ancaman serius bagi para dokter saat memberikan pelayanan medis kepada masyarakat.

Atas dasar itu, sekelompok dokter yang mengatasnamakan Dokter Indonesia Bersatu (DIB) mengajukan uji materi Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ini bukan kali pertama dokter mempersoalkan eksistensi UU Praktik Kedokteran tersebut.

Tercatat sebagai pemohon adalah empat orang dokter yakni  Eva Sridiana, Agung Sapta Adi, Yadi Permana, dan Irwan Kreshnanamurti. “Pendaftaran permohonan bernomor 1132/PAN.MK/1/2014 ini  menitikberatkan pada frasa ‘tindak pidana’ dalam Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran karena masih memberikan tafsir yang luas terhadap tindakan dokter yang dapat dibawa ke ranah hukum,” kata juru bicara DIB, dokter Agung Sapta Adi di gedung MK, Rabu (29/1).

Selengkapnya, Pasal 66 ayat (3) menyebutkan “Pengaduan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.”

Agung menegaskan luasnya objek tindak pidana dalam pasal tersebut, secara tidak langsung memberikan ancaman ketakutan terhadap dokter saat memberikan pelayanan kesehatan. Seperti yang dialami dokter Dewa Ayu Sasiary Prawari, dokter Hendry Simanjuntak, dan dokter Hendy Siagian yang dijatuhi pidana selama 10 bulan melalui putusan MA No. 90/PID.B/2011/PN MDO. Gara-gara kasus ini dokter melakukan mogok.

“Mereka dipidana 10 bulan penjara karena memberika  pelayanan medis seorang pasien yang melahirkan, tetapi jiwa pasien tidak tertolong. Padahal, sudah sesuai prosedur UU Praktik Kedokteran,” tutur Agung.

Semestinya, kata Agung, tindakan kedokteran yang dapat diperkarakan ke pengadilan terbatas hanya jika tindakan dokter mengandung unsur kesengajaan (dolus/opzet) dan  kelalaian nyata atau berat (culpa lata). Jika di luar kedua unsur, sebuah tindakan dokter tidak dapat dijadikan objek pidana.

Dokter Agung memberi contoh dengan sengaja menghentikan kehamilan seseorang yang tidak sesuai prosedur peraturan perundang-undangan. Atau tindakan kelalaian dokter seperti tertinggalnya peralatan medis dalam tubuh pasien. “Operasi seharusnya kaki kanan, tetapi keliru mengoperasi kaki kiri,” ujarnya mencontohkan.

Ditambahkan Agung, sesuai UU Praktik Kedokteran, seorang dokter dapat diadukan, diadili dan diputus bersalah oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terkait dugaan pelanggaran etik dan disiplin kedokteran dan kedokteran gigi sesuai Perkonsil No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.

“Sanksinya tidak ringan, bisa pencabutan surat izin praktik atau surat tanda registrasi baik untuk sementara atau selamanya. Agar tidak terjadi duplikasi persidangan lebih baik seorang dokter yang diduga melakukan tindak pidana terlebih dulu diperiksa MKDKI, ” imbuhnya.

Kuasa hukum DIB, M Luthfie Hakim, merasa keberadaan pasal tersebut  telah nyata membuka peluang yang tak puas dengan pelayanan dokter untuk mempidanakan dokter walaupun tindakan yang dilakukan sudah sesuai prosedur. Hal ini dapat berakibat buruk bagi profesionalitas dokter.

Karenanya, harus ada penafsiran yang membatasi apa itu yang disebut tindak pidana dalam dunia kedokteran. Spesifik, Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran harus dimaknai dugaan tindak pidana hanya berlaku pada dua kondisi yakni tindakan kedokteran yang mengandung unsur kesengajaan atau kelalaian yang telah dinyatakan terbukti dalam sidang MKDKI sebelumnya. “Kita minta tafsir MK, bukan juga membuat dokter tidak bisa bisa dipidana, tetap bisa. Hanya saja harus ada dasar yang jelas untuk bisa mempidanakan dokter,” kata Luthfie.

MKDKI merupakan forum sidang disiplin tindakan dokter yang bisa membuktikan perbuatannya apakah pantas dibawa ke ranah pidana atau tidak. Jika terbukti, melakukan pelanggaran dalam MKDKI, baru bisa diproses dalam sidang pengadilan pidana.

“Jangan sampai dokter yang tidak dinyatakan bersalah dalam MKDKI, justru dinyatakan bersalah dalam putusan pengadilan. Sebab, semua tindak pidana pasti memiliki pelanggaran disiplinnya yang telah dibuktikan di MKDKI,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait