MK Diminta Tegaskan Larangan Rangkap Jabatan Wakil Menteri
Utama

MK Diminta Tegaskan Larangan Rangkap Jabatan Wakil Menteri

Dalam amar putusannya sebagaimana larangan rangkap jabatan berlaku pula bagi Menteri sesuai putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019. Sebab, pemerintah menganggap putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 tidak mengikat.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

Pernyataan dan sikap Menteri BUMN pun diperkuat pernyataan dan sikap Presiden yang disampaikan melalui Juru Bicara Istana Dini Purwono. Menurut Dini Purwono, soal rangkap jabatan Wamen, MK tidak memberikan keputusan. Permohonan pemohon dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK.”

Lebih lanjut, kata Dini Purwono, MK memang memberikan pendapat ketentuan rangkap jabatan yang berlaku terhadap menteri seharusnya diberlakukan mutatis mutandis terhadap jabatan Wamen.” "Saya lihat soalnya di media masih banyak pendapat-pendapat blunder yang mengatakan bahwa pendapat MK itu adalah Keputusan MK dan karenanya final serta mengikat. Padahal tidak."

Menurut Viktor, sikap pemerintah ini menunjukan tidak hanya ketidakpahaman atas keberlakuan putusan MK, tapi juga ketidakpatuhan atas kekuatan hukum putusan MK. Hal ini tentu akan menjadi preseden buruk bagi perjalanan pemerintahan dan semakin mendegradasi wibawa MK terkait ketidakpatuhan putusan MK.  

Kondisi ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap pemaknaan Pasal 23 UU Kementerian Negara. Di satu sisi, Mahkamah telah membuat penegasan atas pemaknaan Pasal 23 UU Kementerian Negara melalui putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 yakni ketentuan norma tersebut berlaku juga untuk Wakil Menteri. Namun karena amar putusannya menyatakan permohonan tidak diterima, hal ini menimbulkan pemahaman berbeda dari pihak pemerintah cq presiden dan menteri-menterinya.

“Pemerintah sepertinya masih menggunakan logika hukum, dimana jika suatu putusan itu dinyatakan ‘tidak diterima’ karena pemohon tidak memiliki legal standing, maka pertimbangan hukum dalam putusan tersebut dianggap tidak mengikat,” kata Viktor.  

Menurutnya, dalam penalaran yang wajar, tafsir putusan MK ini dapat menjadi dasar pembentuk undang-undang untuk tidak memasukan Wakil Menteri dalam Revisi Pasal 23 UU Kementerian Negara di masa mendatang. Sebab, menganggap pertimbangan hukum terkait penegasan larangan rangkap jabatan bagi Wakil Menteri dalam putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 tidak mengikat dan hanya bersifat menyarankan.

Sikap dan tindakan pemerintah ini, tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengakibatkan tidak terlaksananya maksud Mahkamah agar Wakil Menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan khusus sebagai alasan perlunya diangkat Wakil Menteri di kementerian tertentu.

“Artinya ketidakpastian hukum ini bertentangan dengan jaminan yang diberikan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai salah satu syarat utama tegaknya Negara Hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” dalihnya.

Karenanya, demi menjaga tegaknya nilai-nilai konstitusionalisme, penting bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa terhadap kata “Menteri” dalam norma Pasal 23 UU Kementerian Negara tetap konstitusional sepanjang dimaknai termasuk juga “Wakil Menteri”. “Terhadap kata ‘Menteri’ tetap konstitusional (conditionally constitutional) sepanjang dimaknai termasuk ‘Wakil Menteri’,” demikian bunyi petitum permohonan ini.

Seperti diketahui, ada 3 wakil menteri yang rangkap jabatan yakni Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo yang juga menjabat Komisaris Utama PT Bank Mandiri (Persero); Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin yang juga menjabat Wakil Komisaris Utama PT Pertamina (Persero); dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara yang juga menjabat Wakil Komisaris Utama PT PLN (Persero).

Tags:

Berita Terkait