MK Diminta Tolak Pengujian Pasal Pengangkatan Hakim Ad Hoc MA
Terbaru

MK Diminta Tolak Pengujian Pasal Pengangkatan Hakim Ad Hoc MA

Memperhatikan realitas dunia peradilan di Indonesia, kedudukan dan kewenangan KY perlu dipertegas dan diperluas baik melalui amendemen UUD maupun perubahan UU KY.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Eko Riyadi mengatakan keberadaan Komisi Yudisial justru untuk memperkuat kelembagaan MA yaitu menghindarkan hakim MA dari berbagai tudingan mengenai independensi mereka sendiri. Seleksi yang dilakukan adalah untuk memastikan bahwa yang terpilih adalah orang yang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas. Dalam konteks ini kehadiran KY menjadi penting untuk menyeleksi hakim MA, termasuk hakim ad hoc.

Menurutnya, sekalipun KY diposisikan sebagai auxiliary organ (organ penunjang) atau bukan organ kekuasaan kehakiman utama, tidak berarti KY menjadi tidak berwenang mengusulkan hakim ad hoc di MA. Jika logika ini dipakai sebagai alasan karena bukan pelaku kekuasaan kehakiman, seharusnya KY bukan hanya tidak berwenang dalam seleksi hakim ad hoc di MA, tapi tidak berwenang dalam pengusulan hakim agung.

Padahal, kewenangan ini merupakan tugas utama KY yang ditentukan dalam UUD RI Tahun 1945. Artinya, diposisikan sebagai apapun KY tidak relevan dengan kewenangannya mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Jika kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc ini tidak diberikan kepada KY, lalu pertanyaannya lembaga negara manakah yang akan mengusulkannya?

Jika kewenangan pengusulan pengangkatan ini diberikan kepada MA sebagaimana permohonan pemohon, maka hal ini tidak tepat karena akan memunculkan konflik kepentingan (conflict of interest). “Hakim ad hoc akan duduk bersama dalam satu majelis dengan hakim agung di MA dalam perkara yang mereka tangani, tidak mungkin lembaga menunjuk sendiri subjek yang akan menjalankan lembaga tersebut.”

Untuk itu, Pusham UII berpendapat kewenangan pengusulan pengangkatan hakim ad hoc selayaknya tetap dipertahankan menjadi kewenangan KY. Sebab, proses seleksi hakim ad hoc yang selama ini dilakukan KY berbasis pada sistem yang lebih kompeten, kompetitif, transparan, dan akuntabel. Memperhatikan realitas dunia peradilan di Indonesia, kedudukan dan kewenangan KY perlu dipertegas dan diperluas baik melalui amendemen UUD maupun perubahan UU KY.  

“Kepada Mahkamah Konstitusi berdasarkan argumentasi sebelumnya, permohonan uji materi Pasal 13 huruf a UU KY sangat lemah, tidak beralasan, dan layak untuk ditolak,” harapnya.  

Dalam permohonannya, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”. Bagi pemohon, menyamakan hakim ad hoc dengan hakim agung merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Ketentuan hakim ad hoc bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman.

Berlakunya Pasal 13 huruf a UU KY, secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung, tapi juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim agung dengan hakim ad hoc di MA yang memiliki perbedaan baik secara struktural, status, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan. Karena itu, pemohon meminta MK Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait