MK Sidangkan Aturan PKWT, Upah Minimum, Pesangon dalam UU Cipta Kerja
Berita

MK Sidangkan Aturan PKWT, Upah Minimum, Pesangon dalam UU Cipta Kerja

Majelis Panel meminta para pemohon memperjelas bagian kedudukan hukum dan kerugian konstitusional.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit

Terlebih, perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dapat juga diberlakukan PKWT. Dampaknya, pekerja/buruh akan mengalami eksploitasi untuk kepentingan keuntungan bisnis, karena telah memisahkan tanggung jawab hubungan kerja perusahaan pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Hal demikian, justru mengaburkan aspek jaminan dan perlindungan terhadap pekerja/ buruh outsourcing.

“Jika syarat-syarat dan batasan pekerjaan outsourcing dihilangkan, kekhawatiran ratusan ribu hingga jutaan pekerja/buruh akan dipekerjakan sebagai pekerja/buruh outsourcing menjadi kenyataan. Meskipun pekerja/buruh outsourcing dapat diberlakukan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), namun lemahnya keberadaan posisi tawar pekerja/buruh akan menutup kemungkinan tersebut,” kata Hafidz.

Secara finansial, perusahaan pemberi kerja memiliki potensi keuntungan lebih besar daripada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Sebab, perusahaan outsourcing dalam memenuhi kebutuhan keuangannya, bersumber dari management fee. Fakta ini sangat menyulitkan pekerja/buruh outsourcing apabila terjadi perselisihan yang menyebabkan adanya kewajiban pembayaran tertentu. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dimungkinkan tidak memiliki aset perusahaan seperti tanah dan gedung, yang dapat diuangkan dalam rangka pemenuhan kewajiban hukumnya atas pembayaran tertentu.

“Rumusan pasal yang menghapus Pasal 65 UU 13/2003 telah tidak memberi perlindungan dan kepastian hukum kepada pekerja/buruh sepanjang pengaturan syarat-syarat tertentu terkait batasan pekerjaan yang dapat diserahkan ke perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.”

Sementara Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003 yang diatur dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja menetapkan formula perhitungan upah minimum yang hanya memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Pasal ini tidak sejalan dengan Pasal 88 ayat (4) UU 13/2003, yang penetapan upah minimum selain berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) juga memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Tapi, UU Cipta Kerja tidak menghapus atau mengganti Pasal 88 UU 13/2003, khususnya ayat (4), sehingga ketentuan tersebut tetap berlaku.

“UU Cipta Kerja yang mengatur penetapan formula perhitungan upah minimum yang hanya memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi, lebih rendah dari formula perhitungan upah minimum dalam Pasal 44 ayat (2) PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang perhitungan penetapan upah minimum menggunakan pengali nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi.”

Upah minimum merupakan tumpuan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, bahkan dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, pekerja/buruh mengikhlaskan upahnya tidak dibayar penuh demi bisa tetap dapat bekerja. Oleh karenanya, apabila variabel perhitungan upah minimum dalam UU Cipta Kerja ini kembali diatur ulang dan tetap dipertahankan, bahkan variabelnya nyata-nyata lebih rendah dari PP Pengupahan, hal demikian telah merugikan Pemohon yang telah berjuang dengan keringatnya untuk memutar roda perekonomian.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait