MK Sidangkan Aturan PKWT, Upah Minimum, Pesangon dalam UU Cipta Kerja
Berita

MK Sidangkan Aturan PKWT, Upah Minimum, Pesangon dalam UU Cipta Kerja

Majelis Panel meminta para pemohon memperjelas bagian kedudukan hukum dan kerugian konstitusional.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit

Selain itu, ketentuan Pasal 88E ayat (2) UU 13/2003 yang diatur dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja, ditegaskan adanya larangan bagi pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Namun, dalam ketentuan selanjutnya tidak diatur akibat dan kewajiban hukum bagi pengusaha apabila membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Bahkan, tidak menutup kemungkinan adanya kesepakatan upah di bawah upah minimum yang dibuat oleh pengusaha dengan pekerja/buruh.

“Dihapusnya Pasal 91 UU 13/2003 sebagaimana dimaksud Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja, larangan pembayaran upah minimum tanpa disertai akibat hukum dan melahirkan kewajiban membayar selisih dari upah yang dibayarkan tidak sesuai dengan upah minimum, menjadi sia-sia (illusi),” dalihnya.  

Tidak sebandingnya jumlah lapangan kerja dan angkatan kerja akan memposisikan pekerja/buruh sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan tanpa dapat bernegosiasi besaran upah dengan pengusaha. Ketidakpastian pekerja/buruh mendapat upah sesuai dengan upah minimum, terjadi karena Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja telah menghapus Pasal 91 UU 13/2003, yang mengatur akibat dan kewajiban hukum adanya kesepakatan upah yang lebih rendah dari ketentuan upah minimum yang berlaku.

Selanjutnya, Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja, telah mengubah Pasal 156 UU 13/2003 terutama frasa “paling sedikit” menjadi “paling banyak” dalam Pasal 156 ayat (2) dan ayat (3) UU 13/2003. Ketentuan ini bermakna pengusaha diberikan pilihan menetapkan besaran uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dengan batas atas. Artinya pengusaha tidak wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja sesuai besaran yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja. Bahkan dapat berarti “melarang” pengusaha untuk membayar lebih tinggi sebagai makna dari frasa “paling banyak”.

Sementara Pasal 156 ayat (4) UU 13/2003 yang diatur Pasal 81 angka 44 Cipta Kerja juga menghapus pemberian uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan kepada pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 156 ayat (4) huruf c UU 13/2003. Sebagai salah satu komponen kompensasi dari akibat PHK, pemberian uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan kepada pekerja/buruh selalu melekat dalam setiap alasan putusnya hubungan kerja.

Dalam UU 13/2003, pekerja/buruh yang diakhiri hubungan kerja dengan alasan mengundurkan diri sekalipun, tetap diberikan uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan. Hak ini untuk mengganti fasilitas pengobatan dan perawatan yang ditetapkan sebesar 5 persen, dan penggantian fasilitas perumahan sebesar 10 persen selama pekerja/buruh belum mendapat pekerjaan setelah PHK.

“Dihapusnya keberadaan uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebagai salah satu kewajiban pengusaha apabila terjadi PHK dan pekerja/buruh yang mengundurkan diri. Padahal, itu tumpuan dan harapan terakhir untuk mendapat jaminan atas manfaat dari uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan.”

Tags:

Berita Terkait