MK Tafsirkan Cidera Janji dalam Eksekusi Jaminan Fidusia
Utama

MK Tafsirkan Cidera Janji dalam Eksekusi Jaminan Fidusia

Cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, tetapi atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial. Artinya, jika debitur (konsumen) cidera/ingkar janji (wanprestasi), penerima fidusia (perusahaan leasing) punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri (lelang). 

 

Namun, MK memutuskan sertifikat jaminan fidusia tidak serta merta (otomatis) memiliki kekuatan eksekutorial. Selain itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur atau atas dasar upaya hukum (gugatan ke pengadilan) yang menentukan telah terjadinya cidera janji. (Baca Juga: Ketika Wanprestasi Leasing Kendaraan Berujung ke MK)

 

Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

 

“Menyatakan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia sepanjang frasa ‘cidera janji’ bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ‘adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan (memutuskan, red) telah terjadinya cidera janji’,” ucap Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor 18/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo di ruang sidang MK, Senin (6/1/2020).  

 

Awalnya, kasus ini bermula Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 di PT Astra Sedaya Finance (PT ASF). Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Aprilliani dan Suri berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp 222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 hingga 18 Juli 2017, Pemohon telah membayarkan angsuran tepat waktu.

 

Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan mereka dengan dalil/alasan wanprestasi. Atas perlakuan tersebut, Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga mendapat beberapa perlakuan tidak menyenangkan.

 

Menerima perlakuan tersebut, keduanya berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 24 April 2018. Dasar gugatannya, perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel.

Tags:

Berita Terkait