MK Tolak Permohonan Mantan Kapuspenkum Kejagung
Berita

MK Tolak Permohonan Mantan Kapuspenkum Kejagung

Dua hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Upaya mantan Kapuspenkum Kejaksaan Agung RJ Soehandoyo meminta Mahkamah Konstitusi menghapus Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) kandas. MK menilai pasal yang dimohonkan uji oleh Soehandoyo  tidak bertentangan dengan UUD 1945, alias konstitusional.

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 90/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Kamis (14/7).

Lewat kuasa hukumnya, RJ Soehandoyo yang berstatus tersangka ketika menjadi Komisaris PT Panca Lomba Makmur mempersoalkan Pasal 69 UU TPPU. Polda Sulawesi Tenggara telah menetapkan tersangka pada Juni 2014 dengan tuduhan melanggar Pasal 69 UU TPPU atas laporan Falahwi Mudjur Saleh W alias Seli.Pemohon diduga memindahbukukan dana perusahaan yang telah digelapkan direktur dan manajer keuangan terdahulu dari rekening manajer keuangan ke rekening PT Panca Logam Makmur untuk menyelamatkan aset perusahaan.

Pemohon menganggap penyidik tidak dapat menetapkan pemohon menjadi tersangka TPPU. Sebab, perkara ini awalnya bukan TPPU, tetapi tindak pidana perbankan. Seorang direktur (Tomi Jingga) dan manajer keuangan (Falahwi Mudjur) perusahaan telah dijatuhi hukuman pidana penjara selama tiga tahun berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Bau Bau-Bau No. 363/Pid.B/2014/PN.Bau tertanggal 6 Mei 2015 karena terbukti melakukan penggelapan dalam jabatan di perusahaan.

Merujuk putusan PN Bau-Bau, yang berhak membuka blokir rekening manajer keuangan yang telah berstatus terpidana adalah Komisaris PT Panca Logam Makmur. Menurut pemohon, perkara TPPU dan predicate crime (tindak pidana asal/perbankan) masing-masing berdiri sendiri. Hal ini dianggap persoalan hukum baru yang menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi pemohon. Karena itu, pemohon minta agar Pasal 69 UU TPPU dihapus karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)  UUD 1945.

Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan permohonan ini berbeda dengan permohonan No. 77/PUU-XII/2014 yang dimohonkan M. Akil Mochtar. Dalam permohonan ini, Pemohon Tersangka dalam perkara TPPU, bukan pelaku tindak pidana asal. Namun, Akil Mochtar sebagai tersangka dalam tindak pidana asal sekaligus dalam TPPU. Karena itu, permohonan ini tidak bertentangan dengan Pasal 60 UU MK sehingga dapat diuji kembali.

“Dalam putusan No. 77/PUU-XII/2014, Mahkamah memandang tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu pidana asal untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara TPPU,” demikian antara lain pertimbangan MK.

Ditegaskan Mahkamah, TPPU adalah tindak pidana lanjutan (follow up crime) dari tindak pidana asal (predicate crime) untuk menyembunyikan atau menghilangkan jejak agar tidak dapat diketahui bahwa harta kekayaan tersebut  berasal dari tindak pidana. Sedangkan tindak pidana asal merupakan tindak pidana yang menghasilkan uang/harta kekayaan yang kemudian dilakukan proses pencucian.

Menurut Mahkamah, idak mungkin ada TPPU tanpa adanya tindak pidana asalnya terlebih dahulu, TPPU tidak berdiri sendiri, tetapi didahului tindak pidana lain. Karena itu, rezim pemberantasan TPPU  berprinsip follow the money, bukan follow the person karena tindak pidananya terangkai mengikuti harta kekayaannya dari tangan yang satu ke tangan yang lain.

Praktiknya, Pasal 69 UU TPPU sangat mungkin selesai diperiksa dan diputus terlebih dahulu dari perkara tindak pidana asalnya. Terhadap dalil Pemohon yang menyebut keadaan ini tidak memberi kepastian hukum, Mahkamah berpendapat hal itu merupakan masalah teknis yudisial karena Pasal 75 UU TPPU telah mengatur penggabungan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan TPPU dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup. “Teknik penggabungan ini seharusnya perbedaan putusan mencolok antara TPPU dan tindak pidana asal dapat dihindari,” lanjutnya.

Atas dasar itu, Mahkamah berpendapat Pasal 69 UU TPPU yang mengatur penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang  pengadilan perkara  TPPU  tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana  asalnya tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan sesuai dengan semangat pemberantasan tindak pidana terorganisasi. Untuk itu, dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Terhadap Putusan MK No. 77/PUUXII/2014 terdapat dua hakim konstitusi yaitu Aswanto dan Maria Farida Indrati yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).
Tags:

Berita Terkait