Molor Sidang Tipikor, Kisah Klasik Dunia Peradilan
LIPUTAN KHUSUS

Molor Sidang Tipikor, Kisah Klasik Dunia Peradilan

Mahkamah Agung menilai persoalan ini mesti diatasi bersama antar pihak berperkara mulai dari terdakwa, penasihat hukum, serta saksi dan ahli.

Oleh:
Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Korupsi. Ilustrasi BAS
Ilustrasi Korupsi. Ilustrasi BAS

Bukan lagi rahasia umum, agenda persidangan acapkali mundur dari jadwal yang semula ditetapkan. Tak tanggung-tanggung, jadwal sidang yang mestinya dimulai pagi hari, ternyata baru berhasil digelar jelang matahari terbenam. Dan satu hal yang menyedihkan, kenyataan tersebut ternyata masih terjadi hampir di setiap pengadilan.
Itulah fakta yang kembali dipotret mitra pemantau peradilan daerah ketika kurang lebih selama 10 bulan melakukan pemantauan sidang pada Pengadilan Tipikor di sejumlah kota besar di Indonesia. Di Pengadilan Tipikor Bandung, peneliti dari LBH Bandung, Asaad Ahmad mengatakan bahwa rata-rata waktu molornya persidangan perkara korupsi bisa mencapai tujuh jam. 
“Membosankan itu menunggu, karena biasanya mulai jam 9 (pagi) tapi seringkali telat. Yang dipantau itu mulai jam 4 (sore) tanpa ada kejelasan mulai jam berapa,” kata Asaad saat berbincang dengan hukumonline, Jumat (23/9) di Jakarta. (Baca Juga: Ketua MA: Sidang Harus Dilaksanakan Tepat Waktu)
   
Patut disayangkan, molornya jadwal sidang tanpa adanya kejelasan itu ternyata tak cuma merugikan rekan pemantau. Saat sedang memantau suatu perkara, Asaad menemukan bahwa ada salah seorang saksi yang belum makan siang ketika sedang diperiksa oleh hakim. Bisa jadi, saksi tersebut merasa was-was bila meninggalkan gedung pengadilan untuk mencari makan bila ternyata dipanggil oleh panitera untuk mulai bersidang. (Baca Juga: Advokat Kembali Keluhkan Jadwal Sidang ‘Molor')
Beruntung, dalam persidangan salah seorang hakim menanyakan kepada saksi apakah sudah mengisi perutnya. Mendengar jawaban saksi, hakim tersebut bahkan sempat menegur pihak penuntut umum dan berkata kenapa saksi tidak diberikan atau setidaknya dipersilahkan makan sebelum sidang dimulai. Akhirnya, sidang tersebut diskors sementara untuk memberikan kesempatan pada saksi melakukan makan siang yang tertunda.
“Pernah ditegur sama hakim, sudah makan belum. ‘Ini bu jaksa gimana kok ngga dikasih makan'. ‘Iya pak nanti dikasih makan'. Padahal itu dia datang dari pagi, sidang jam 2. Itu yang keliatan, gimana kalau yang lain ngga ditanya. Itu kebetulan ditanya,” kenang Asaad mengingat percakapan yang terjadi antara hakim dan jaksa di ruang sidang.
Sidang tipikor di Pengadilan Tipikor Jakarta punya masalah yang sama khususnya terkait molornya jadwal sidang. Selain masalah jadwal sidang yang tak tepat waktu, peneliti MaPPI FHUI, Siska Trisia juga menemukan masalah lain yang acap terjadi, misalnya tidak jelasnya tempat ruang bersidang. (Baca Juga: Jadwal Ngaret, PN Jakarta Pusat Akan Disomasi)
Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tipikor Jakarta berada di bawah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Artinya, tak cuma perkara korupsi yang digelar sidangnya di sana melainkan ada perkara lain mulai dari pidana, perdata, hubungan industrial, HAM, serta niaga. (Baca Juga: Selamat Tinggal Gedung PN Jakpus Gadjah Mada)
“Misalnya di papan informasi sidang akan digelar di ruang Kartika I. Setelah duduk dua sampai tiga jam di sana, saya tanya ke petugas informasi, dia ngga informatif. Ketika ditanya, dia ngga tau dan minta cek satu persatu. Kita otomatis cek pakai tangga,” kata Siska.
Persoalan Klasik
Catatan hukumonline, MA sudah berulangkali menyelesaikan persoalan ini. Kala MA dipimpin oleh Harifin A Tumpa, ia bahkan berulangkali mengingatkan para hakim untuk menepati jadwal sidang. Ini sudah berkali-kali diingatkan. Harifin bahkan mengancam para hakim yang tak menepati court calender akan dikenai sanksi. 
Pada 2009, Ketua MA dan Jaksa Agung juga pernah membuat nota kesepahaman untuk melakukan pengawasan kepada hakim dan jaksa untuk menghormati jadwal sidang. Hakim sering menuduh keterlambatan sidang karena jaksa yang terlambat datang. Namun, jaksa pun mengutarakan hal yang sebaliknya. Sayangnya, meski sudah ada MoU, jadwal sidang masih kerap molor. (Baca Juga: Molor Jadwal Sidang Juga Kerap Terjadi di Australia)
Dimintai tanggapannya, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Ridwan Mansyur tak menampik masih maraknya jadwal sidang yang molor yang terjadi hampir di setiap pengadilan. Namun, ia menjelaskan bahwa persoalan molornya jadwal sidang bukan semata-mata bertumpu pada majelis hakim yang memeriksa melainkan pihak-pihak yang berperkara di pengadilan. “Ini persoalan klasik sekali, dari dulu-dulu terjadi,” katanya kepada hukumonline, Selasa (11/10).
Namun, hal itu sama sekali bukan sebagai bentuk pemakluman, sebaliknya MA terus berupaya membenahi persoalan tersebut. Pertama, sejumlah Surat Edaran MA (SEMA) dan Surat Ketua MA (SKMA) telah diterbitkan agar persoalan molornya jadwal bisa teratasi. Seperti, membagi jadwal persidangan perkara pidana dan perdata, masing-masing dua hari. Lalu, untuk perkara perdata seperti permohonan atau yang sifatnya menerima jawaban tanpa pemeriksaan bisa dilakukan pagi hari.
Di beberapa pengadilan, ada upaya lain yang coba dilakukan, seperti menerapkan nomor urut antrian persidangan. Dan lagi, lanjut Ridwan, ada kalanya cara itu belum berhasil ketika masih ada pihak berperkara yang belum lengkap untuk disidangkan. Seperti misalnya terlambatnya terdakwa yang akan disidang ke pengadilan. Sepengetahuan Ridwan, memang rata-rata kehadiran terdakwa ke gedung pengadilan paling cepat di atas pukul 10–11 siang.
“Tahanan belum pernah datang jam 8 pagi, pasti setelah jam 10,” sebutnya.
Atas molornya kehadiran terdakwa, beberapa Ketua Pengadilan Negeri pernah berinisiatif bersurat ke Kejaksaan Negeri dan Kepala Rutan. Dalam jawabannya, Kepala Rutan menyebut alasan pemberian jatah makan sehari dua kali, yakni makan pagi dan makan malam yang menyebabkan terdakwa terlambat diantar ke pengadilan. Sehingga, terdakwa baru diberangkatkan ke pengadilan setelah diberi jatah makan yang kedua sekitar pukul 10 siang. Mereka tiba di pengadilan rata-rata jelang waktu istirahat siang.
Kata Ridwan, sempat ada usulan agar jatah makan dibungkus dengan nasi kotak. Bahkan, pengadilan sempat mengusulkan agar diberikan anggaran untuk memberikan jatah makan kepada pihak yang akan bersidang, termasuk saksi dan ahli. Sejauh ini, beberapa pengadilan baru sebatas memberikan air mineral ketika mereka menunggu waktu sidang digelar.
“Kita ingin cari solusi minimal ada kompensasi terhadap mereka yang tunggu lama. Kita ingin minta anggaran, sudah diusulkan tapi anggaran sangat terbatas. Karena yang tanggungjawab tahanan itu ada pada rutan (Kementerian Hukum dan Ham),” ujarnya.
  
Kedua, solusi yang dinilai paling tepat adalah dengan melakukan rekrutmen hakim. Kata Ridwan, sejak enam tahun lalu belum pernah lagi dilakukan penambahan personel hakim. Ambil contoh misalnya, ada sebuah pengadilan yang hanya memiliki tiga orang hakim. Andaikan mereka bersidang setiap hari hingga malam sekalipun, tentu akan ada potensi tumpukan perkara dan berdampak pada molornya jadwal. (Baca Juga: Minimnya Jumlah Hakim Picu Sidang-Sidang PHI Molor)
Kuncinya adalah menyeimbangkan jumlah hakim dengan perkara yang diterima pengadilan dengan rekrutmen. Pernah dicoba gagasan dengan menarik hakim dari satu pengadilan ke pengadilan yang membutuhkan. Namun, ada kesulitan seperti hakim yang bersangkutan telah berada di level yang lebih tinggi dari pengadilan mau dituju. Kata Ridwan, secara prosedur akan ada yang dilanggar. Sayangnya, hingga saat ini MA masih belum menerima kejelasan mengenai permohonan permintaan 1.500 calon hakim baru untuk mengatasi salah satunya jadwal sidang yang molor. 
“Kita tarik dari kota besar, ngga mungkin dia diturunkan ke pengadilan lebih rendah. Protapnya keliru kan, langgar prosedur. Di kota besar saja kurang apalagi mau ditarik lagi ke pengadilan lain,” ujar Ridwan.


Tags: