Monopoli Penyelenggaraan PKPA Dipersoalkan ke MK
Utama

Monopoli Penyelenggaraan PKPA Dipersoalkan ke MK

APPTHI minta dilibatkan dalam PKPA dan UPA.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ujian advokat salah satu yang dipersoalkan ke MK. Foto: NNP
Ujian advokat salah satu yang dipersoalkan ke MK. Foto: NNP
Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan Ujian Profesi Advokat (UPA) selama ini diselenggarakan organisasi advokat. Kalaupun satu lembaga pendidikan atau kampus mau menggelar PKPA, misalnya, tetap harus bekerjasama dengan organisasi advokat.   Kini, ‘monopoli’ penyelenggaraan PKPA itu dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, Pengurus Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI)     (Baca: ).      

“Jadi, segala bentuk penyelenggaraan kegiatan pendidikan oleh organisasi advokat telah menyimpang dari maksud pembentukan organisasi advokat itu sendiri,” dalihnya.

Menurutnya, perlu adanya institusi pendidikan yang memiliki dasar hukum penyelenggaraan pendidikan advokat yang jelas dengan memiliki materi muatan dan standar kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan. “Perguruan tinggi hukum, termasuk universitas yang memiliki fakultas hukum baik swasta atau negeri adalah institusi yang memiliki hak untuk memberikan gelar profesi ini,” kata dia.  

Atas dasar itu, APPTHI meminta MK agar Pasal 2 ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum setelah mengikuti PKPA yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi advokat.

“Menyatakan Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai lulus ujian yang diadakan perguruan tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi advokat,” sebutnya seperti termuat dalam petitum permohonan.

Menanggapi permohonan, Patrialis Akbar mempertanyakan dasar hukum yang menyebut perguruan tinggilah yang berhak melakukan pendidikan advokat termasuk penyelenggaraan ujian advokat. “Pasal berapa, UU nomor berapa yang mengatakan perguruan tinggilah yang berhak melakukan pendidikan termasuk profesi advokat. Apa benar yang lain enggak berwenang?” Arrisman mengakui secara jelas memang tidak disebutkan.

Patrialis juga mempertanyakan apakah selama ini PKPA yang dilakukan oleh organisasi advokat itu dilarang dan bertentangan dengan UUD 1945? “Apa betul Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 itu melarang organisasi profesi advokat melaksanakan pendidikan? Apa alasan agar semua pendidikan didominasi perguruan tinggi? Ini dielaborasi secara komprehensif agar bisa meyakinkan Majelis dalam perbaikan permohonan,” harapnya.

Pemohon juga diminta mempertegas bagian petitum permohonan apakah pasal-pasal yang diuji minta dibatalkan atau ditafsirkan secara bersyarat agar PKPA dan ujian advokat dilaksanakan perguruan tinggi bekerja sama dengan organisasi advokat? “Apa serta-merta Pemohon bisa menyelenggarakan PKPA? Kan perguruan tinggi luar biasa banyaknya di Republik ini. Sedangkan organisasi advokat enggak begitu banyak?”  

Dalam kesempatan ini, Pemohon disarankan membaca putusan MK No. 103/PUU-XI/2013 terkait penyelenggaraan PKPA itu tidak hanya dilakukan oleh organisasi advokat, tetapi boleh bekerja sama dengan institusi lain. Termasuk perguruan tinggi juga diberikan kesempatan untuk bisa melaksanakan PKPA. “Tetapi ya koordinasi dengan organisasi advokat? Dan juga ditegaskan PERADI bukan satu-satunya organisasi advokat. Ini coba Saudara baca lagi,” sarannya.

Menurutnya, permohonan ini lebih banyak menguraikan persoalan implementasi norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma. “Kelihatannya persoalan yang dihadapi itu lebih banyak persoalan implementasi norma. Nah, kalau implementasi kan bukan tugasnya Mahkamah, ya kan?”


Laksanto Utomo. APPTHI memohonkan pengujian materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) huruf f UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

APPTHI beralasan sesungguhnya penyelenggaraan pendidikan advokat adalah hak perguruan tinggi ilmu hukum seperti dimaksud Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyebutkan melaksanakan pendidikan itu adalah universitas atau perguruan tinggi.

“Jadi, organisasi profesi sebenarnya tidak punya kewenangan untuk menguji dan mendidik calon advokat,” ujar salah satu kuasa hukum APPTHI, Arrisman di sidang pendahuluan yang diketuai Patrialis Akbar di Gedung MK.Internal AAI Berpolemik Soal PKPA Mandiri

Pasal 2 ayat (1) UU Advokat menyebutkan “Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.” Pasal 3 ayat (1) huruf f menyebutkan “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat.”

Arrisman menilai pelaksanaan norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat menghambat hak warga negara (calon advokat) untuk mendapatkan standar dan jaminan kualitas pendidikan yang diakui dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.   

Apalagi, lanjutnya, organisasi advokat di Indonesia cukup banyak dan masing-masing organisasi memiliki cara (metode) dan standar berbeda-beda dalam melaksanakan proses pendidikan calon advokat. Padahal, merujuk Pasal 1 angka 4 UU Advokat, Organisasi Advokat adalah sebagai organisasi profesi, bukan organisasi pendidikan.
Tags:

Berita Terkait