Moratorium Reklamasi, Ini Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh Pengusaha
Utama

Moratorium Reklamasi, Ini Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh Pengusaha

Pengusaha bisa menempuh dua langkah, yakni gugatan ke PTUN dan melalui Kementerian Dalam Negeri. Dengan catatan, moratorium tersebut sudah ditetapkan dalam instrumen hukum tertulis tertentu.

Oleh:
NNP/ANT
Bacaan 2 Menit
Reklamasi Teluk Jakarta. Foto: RES
Reklamasi Teluk Jakarta. Foto: RES
Untuk sementara waktu, proyek reklamasi teluk Jakarta dihentikan. DPR dan Pemerintah sepakat menghentikan sementara proyek reklamasi di Teluk Jakarta, Bekasi, serta Tangerang lantaran dianggap masih terdapat sejumlah permasalahan regulasi antara pemerintah, baik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan pemerintah daerah setempat. Kesepakatan itu pun diputuskan dalam rapat kerja DPR, Senin (18/4) kemarin antara Komisi IV DPR bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sayangnya, moratorium reklamasi teluk Jakarta justru dinilai menjadi potensi permasalahan baru, terutama bagi Pemprov DKI Jakarta. Bukan tidak mungkin, Pemprov DKI Jakarta menjadi pihak yang akan digugat oleh sejumlah pengembang lantaran penghentian proyek tersebut. Hal itulah yang diungkapkan oleh Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan.

“Di sini jadi pertarungan antara kerugian ekonomis dari para pengusaha dan kerugian yang akan timbul ketika reklamasi tetap dilakukan,” ujarnya saat dihubungi hukumonline melalui telepon, Rabu (20/4).

Jimmy menambahkan bahwa kesepakatan pemerintah untuk melakukan moratorium terhadap reklamasi di Teluk Jakarta semestinya memang dipatuhi setiap pihak. Mau tidak mau, kegiatan apapun, baik yang sudah, sedang, dan akan dilakukan dalam proyek reklamasi tersebut mesti dihentikan sekalipun dari sisi ekonomi bisa sangat merugikan para pengusaha atau pengembang.

Memang, hingga saat ini kesepakatan moratorium reklamasi Teluk Jakarta yang disepakati pada awal pekan kemarin belum dibuatkan aturan tertulis. Dikatakan Jimmy, sejatinya terhadap kesepakatan moratorium itu belum mengikat para pihak. Dalam arti, kesepakatan penghentian sementara itu belum memiliki akibat hukum bagi pihak-pihak tertentu.

“Kalau seandainya baru lisan, itu belum mengikat dan belum ada akibat hukumnya. Oleh sebab itu, kalau ada moratorium maka itu harus dibuat dalam bentuk instrumen hukum apakah itu peraturan gubernur atau keputusan gubernur,” katanya.

Jika moratorium telah ditetapkan dalam sebuah instrumen hukum tertulis, Jimmy berpendapat, pengusaha atau pengembang dapat menempuh upaya hukum. Setidaknya, ada sejumlah instrumen hukum tertulis yang mungkin akan diterbitkan sebagai payung hukum moratorium reklamasi. Pertama, melalui Keputusan Gubernur (Kepgub) tentang penghentian kegiatan-kegiatan pengusaha yang diberikan izin terkait reklamasi.

Jika instrumen yang dipakai adalah Kepgub, maka pengusaha atau pengembang yang merasa dirugikan dapat melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Ketika nanti dikeluarkan melalui Keputusan Gubernur, maka itu bisa diajukan ke PTUN. Misalnya keputusan tentang penghentian dari kegiatan-kegiatan pengusaha yang diberikan izin. Maka itu larinya seandainya pengusaha-pengusaha dirugikan ke PTUN,” ujarnya.

Kedua, melalui Peraturan Gubernur (Pergub). Jika instrumen yang dipakai adalah Pergub, maka pengusaha bisa melakukan upaya hukum judicial review ke Kementerian Dalam Negeri. “Tapi kalau seandainya aturan itu dibuat menggunakan Peraturan Gubernur, maka itu larinya ke judicial review ke Kementerian Dalam Negeri karena di atasnya dari provinsi,” sambungnya.

UU Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2014 Tentang  Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang mengatur bahwa kewenangan untuk membatalkan Peraturan Kepala Daerah Provinsi ada di tangah Presiden namun dilimpahkan kewenangan pembatalan tersebut kepada Menteri selaku pembantu presiden.

“Beda dengan UU Pemda sebelumnya (UU 32 Tahun 2004) masih dibolehkan Mahkamah Agung (MA) kalau judicial review seandainya ada keberatan. Kalau sekarang dikunci, MA tidak dilibatkan. Jadi cukup kalau Peraturan Kepala Daerah atau Peraturan Daerah dinaikan ke Kementerian Dalam Negeri,” tukasnya.

Terlepas dari hal itu, Jimmy mendorong agar Pemerintah Daerah Provinsi dalam mengambil kebijakan mesti melihat juga dampak dari lingkungan. Pasalnya, masyarakat acapkali mengkaitkan reklamasi dengan lingkungan hidup. Memang akan ada pertempuran dalam dua hal, yakni sisi ekonomis dan lingkungan hidup. Bahkan, jika nanti hal ini masuk ranah peradilan, perdebatannya akan lari ke dua aspek itu.

“Terkait bagaimana caranya kedepan supaya pemda saat mengambil kebijakan harus melihat juga dampak dari lingkungan hidup. Artinya dalam konteks ini, dalam konteks ini boleh mengambil kebijakan ekonomis terkait pendapatan daerah akan tetapi jangan sampai merugikan masyarakat dalam konteks pemenuhan hak asasi manusia,” usulnya.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama tidak bermasalah jika pemerintah pusat menarik izin yang telah dikeluarkannya. Namun, Basuki mewanti-wanti agar kontribusi pengembang sebesar 15 persen juga ikut dicabut sekaligus dengan pencabutan oleh pemerintah pusat.

“Tapi jangan izin ditarik ke pusat, terus 15 persen (kontribusi pengembang) dihilangkan. Nanti DKI yang repot, itu saya yang minta,” kata Ahok Senin (18/4).

Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi
Isu menarik lain terkait dengan reklamasi Teluk Jakarta berkenaan dengan perdebatan siapa pihak yang berwenang dan bertanggungjawab dalam reklamasi. Banyak pihak berpendapat pangkal persoalan ini lantaran ada aturan yang tumpang tindih satu dan lainnya. Dikatakan Jimmy, pihak yang berwenang dalam konteks reklamasi Teluk Jakarta adalah Pemprov DKI Jakarta.

Alasannya, UU Nomor 23 Tahun 2014 mengatur bahwa kewenangan wilayah laut yang sebelumnya berada di Kabupaten, saat ini berada di Provinsi. Dalam aturan itu, kata Jimmy, disebutkan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi ‘diberi ruang’ menerbitkan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil. Jika dibandingkan dengan reklamasi Teluk Benoa di Bali, di sana wilayah reklamasi ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres). Namun, karena penetapan reklamasi Teluk Jakarta tidak melalui Perpres, maka Pemerintah Daerah Provinsi memliki kewenangan itu.

“Di UU Pemda kewenangan wilayah laut itu ada di Provinsi. Artinya, Pemerintah Daerah Provinsi yang punya kewenangan di situ. Sepanjang reklamasi Teluk Jakarta tidak menggunakan Perpres, maka Pemerintah Daerah Provinsi punya kewenangan. Makanya pakai Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) kan. Karena itu kewenangannya di Provinsi,” tegasnya.

Untuk diketahui, antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta sepakat membentuk komite reklamasi. Nantinya, komite itu akan terdiri dari perwakilan pihak terkait seperti Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Pemprov DKI yang masing-masing diwakili oleh dua orang setingkat Deputi, Direktur Jenderal, dan Direktur dari Kementerian tersebut.

Kesepakatan tersebut ditetapkan usai pertemuan di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, Jakarta yang dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama, Menko Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diwakili Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Brahmantya Satyamurti Poerwadi. Dijadwalkan, komite tersebut akan mulai melakukan audit sejak Kamis (21/4).

“Mulai hari Kamis, tim ini akan membahas. Mereka akan melakukan audit, apa yang bolong akan diperbaiki,” ujar Rizal Ramli sebagaimana dikutip dari laman resmi Kemenko Maritim dan Sumber Daya.
Tags:

Berita Terkait