​​​​​​​Mr. Johannes Latuharhary, Memilih Mundur dari Hakim Demi Gerakan Anti-Kolonial
Tokoh Hukum Kemerdekaan

​​​​​​​Mr. Johannes Latuharhary, Memilih Mundur dari Hakim Demi Gerakan Anti-Kolonial

Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI mencatat Johannes Latuharhary termasuk satu dari 31 tokoh nasional yang hadir saat proklamasi ditandatangani Soekarno dan Hatta.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 7 Menit

Saudara-saudara, saat sekarang ini saat yang mahapenting dalam sejarah Indonesia umumnya dan kaum Ambon khususnya. Kita ini sedang berada di tengah-tengah satu peristiwa yang akan menentukan nasib kita semuanya, yakni hidup sebagai bangsa yang merdeka atau sebagai bangsa jajahan Belanda yang hina”. Pidato Mr J Latuharhary saat mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan kepada rakyat Maluku lewat RRI.

Tiga Kali Dipenjara

Seperti pengalaman para pejuang nasional lainnya, Latuharhary beberapa kali mendekam di penjara. Pada tahun 1936, ia terpilih menjadi ketua umum pertama Jong Ambon. Pada 1939, ia ikut serta dalam pemilihan anggota Volksraad mewakili Ambon dengan kampanye sentiment nasionalisme. Belakangan, ia juga masuk Partai Indonesia Raya (Parindra).

Jepang, yang sudah masuk Indonesia, menahan para pengurus Parindra, termasuk Latuharhary yang saat itu menjadi pengurus di Malang. Ia ditahan di penjara Kayutangan. Selepas penjara empat bulan kemudian, Latuharhary dan keluarga pindah ke Jakarta, untuk sementara tinggal di rumah dokter Tamaela di Jalan Kramat, lalu pindah ke Jalan Serang. Di Jakarta, Latuharhary bertugas mengurus orang-orang Maluku dan Timor yang ditinggal karena orang tua mereka ditawan atau menyingkir ke Australia. Kemudian, Jepang juga menugaskannya mengurus Kantor Urusan Penduduk Maluku se-Jawa.

Penangkapan kedua berlangsung pada 1944. Jepang menangkap sejumlah tokoh Maluku di Jakarta. Jepang berdalih para tokoh dan pemuda yang ditangkap terlibat kegiatan mata-mata untuk Sekutu. Tetapi penahanan ini tidak berlangsung lama. Tiga hari kemudian Latuharhary dibebaskan dari rumah tahanan di Bogor. Pembebasan ini tidak lepas dari perjuangan isterinya.

Penangkapan ketiga berlangsung setelah Jepang menangkap beberapa orang pemuda Maluku. Para pemuda yang ditangkap dan ditahan di Tanjungpriok, mengalami penyiksaan yang luar biasa. Non Tanasale, salah seorang pemuda dimaksud, bertahan dan meloloskan diri. Bahkan ia membawa lari kasus penjara. Latuharhary, sebagai penanggung jawab orang-orang Maluku di Jawa, dimintai pertanggungjawaban. Isterinya lagi hamil besar ketika penahanan itu terjadi. Ahmad Soebardjo, kawan seperjuangan Latuharhary di Malang, membantu pembebasan. Subardjo dan perwira intelijen Angkatan Laut Jepang, Nishizima, mengantarkan Latuharhary ke rumah sakit, membebaskan sekaligus memberikan kesempatan kepada tokoh Maluku itu melihat anaknya yang baru lahir.

Baca:

Akhir Perjuangan

Setelah ikut terlibat intens dalam pergerakan mempertahankan kemerdekaan, akhirnya Latuharhary bisa menjalankan tugasnya sebagai Gubernur Maluku. Ia baru benar-benar bisa ke Ambon setelah konferensi Meja Bundar. Salah satu tugasnya adalah menata kembali pemerintahan di sana karena sebelumnya terjadi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Ia berusaha menghapuskan secara berkala status darurat militer di beberapa wilayah Maluku.

Latuharhary menjabat gubernur Maluku hingga 1955. Perpecahan koalisi di Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955) membuat Johannes harus meninggalkan jabatannya. Ia digantikan Muhammad Djosan, politisi Partai Sosialis Indonesia. Latuharhary lantas ditarik menjadi staf di Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Penugasannya sebagai staf di Kemendagri justru memberikan tekanan pesikologis bagi Latuharhary seperti tertulis dalam biografinya: “Diperbantukannya di Departemen Dalam Negeri tanpa tugas tertentu, tanggung jawab dan wewenang yang seimbang dengan jabatannya semula sebagai gubernur, rupanya menimbulkan tekanan-tekanan psikologis. Timbul perasaan diri terpojok, yang bagi seorang pejuang sangat tidak enak rasanya”.

Ia sering termenung sendirian. Pada 6 November 1959, saat bersiap mengikuti rapat Majelis Gereja Paulus, Latuharhary terjatuh dan pingsan. Saat itu ia sedang mengikat sepatunya. Keluarganya memanggil dokter, dan ternyata sang pejuang sudah status koma. Segera ia dibawa ke RSCM. Dua hari di rumah sakit, ia tetap dalam kondisi koma. Muhammad Padang, rekan seperjuangannya yang juga pernah menjadi Gubernur Maluku, datang menjenguk dan menemui Latuharhary ditempatkan di barak rakyat di bagian belakang. Tokoh nasional, pejuang yang jujur, dan pengabdi bangsa dan negara itu menghembuskan nafas terakhir pada 8 November 1959. Sehari kemudian, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Ia tak hanya meninggalkan keluarga, tetapi juga mewariskan motto hidup yang sangat bermakna: “Karena pohon sagu itu telah memberikan darah penghidupan bagiku, maka darah penghidupan itu akan menyuburkan pohon sagu itu”.

Tags:

Berita Terkait