MUI Dukung Perluasan Pidana Kesusilaan
Utama

MUI Dukung Perluasan Pidana Kesusilaan

MUI berharap MK mengabulkan permohonan ini.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi logo MUI. Foto: SGP
Ilustrasi logo MUI. Foto: SGP
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung adanya perluasan pasal-pasal pemidanaan kesusilaan dalam KUHP yang tengah diperjuangkan 12 warga negara yang dimotori Guru Besar IPB Euis Sunarti. Sebab, selama ini norma Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285 (pemerkosaan), dan Pasal 292 (pencabulan homoseksual) KUHP tidak sejalan dengan nilai Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. (Baca: Beginilah Pasal Homoseksual yang Kini Diributkan).

“Ini disebabkan Pancasila sebagai nilai filosofis bangsa yang harus menjadi landasan hukum dasar negara (UUD 1945) dan segala bentuk peraturan perundang-undangan,” ujar anggota Komisi Fatwa MUI, Mursyidah Thahir saat menyampaikan pandangan MUI sebagai Pihak Terkait di sidang lanjutan pengujian pasal perzinaan di ruang sidang MK, Selasa (22/9).

Mursyidah menerangkan Pasal 284 KUHP hanya mengancam perbuatan zina yang terikat perkawinan. Sedangkan, pria atau wanita yang belum terikat perkawinan tidak diancam sanksi pidana. Padahal, keduanya sama-sama merusak sendi-sendi moralitas masyarakat Indonesia. Ini menunjukkan ada kelemahan norma (tidak adil) karena perbuatannya sama, tetapi yang satu tidak dikenakan sanksi pidana.

“Ini perlu ada perluasan pengertian zina dalam Pasal 284 KUHP mesti ditempatkan pada makna dasar agar sejalan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Islam makna dasar ini tertuang al-Qur’an surat al-An’am: 151 dan surat an-Nur: 2-3 yakni perzinaan dilakukan laki-laki dan perempuan di luar perkawinan yang sah,” kata dia.

Dia melanjutkan dari sisi UU No. 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan, Pasal 284 KUHP jelas-jelas mengancam dan merusak nilai-nilai Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang menyebut ‘Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yan sah.’ Perbuatan zina adalah perbuatan keji yang melanggar hukum negara sekaligus melanggar nilai kemanusiaan karena anak-anak hasil perzinaan kehilangan hak-haknya, seperti perwalian ayah kandung dan hak waris dari ayah kandung.    

“Perzinaan menimbulkan kemudharatan karena bisa menimbulkan kejahatan lain seperti aborsi dan pembunuhan seperti diterangkan surat al-Isra: 32,” lanjutnya.

MUI menilai Pasal 285 KUHP dinilai diskriminatif yang bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Islam sangat mengutuk perbuatan perkosaan baik yang dilakukan laki-laki maupun perempuan karena dampaknya sangat merugikan korban perkosaan, seperti ditegaskan dalam QS al-Maidah: 33 yang ancaman hukuman sangat berat di dunia dan di akherat kelak. “MUI sependapat agar pengertian perkosaan dalam Pasal 285 KUHP perlu diperluas,” paparnya.

MUI memandang Pasal 292 KUHP memberi peluang dan melegalisasi hubungan orang dewasa sesama jenis baik gay maupun lesbian. Padahal, perbuatan cabul sesama jenis sangat dilaknat Allah SWT seperti ditegaskan QS surat al-Araf :80-84 yang intinya terlaknatnya kaum Luth (kaum homoseksual). Penegasan ini sampai diulang delapan kali dalam al-Qur’an di surat yang berbeda-beda.

“Makanya, kita sepaham dengan keinginan Para Pemohon agar Pasal 292 KUHP dimaknai apakah perbuatan cabul baik yang sudah dewasa atau belum dewasa, pelaku seharusnya bisa dipidana.” (Baca: Ini Poin-Poin Penting dari MUI untuk RKUHP).

Apalagi, pihaknya sudah mengeluarkan Fatwa MUI No. 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi, dan pencabulan yang meminta pemerintah dan DPR tidak melegalkan dan komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender atau komunitas orientasi seks menyimpang. “Pemerintah wajib mencegah meluasnya penyimpangan orientasi seksual ini di masyarakat. Makanya, kita berharap MK mengabulkan permohonan ini,” harapnya.

Seperti diketahui, sidang pengujian Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang diajukan Guru Besar IPB Bogor, Euis Sunarti, dkk ini sudah memasuki sidang kesepuluh. Selain pemerintah, beberapa ahli Para Pemohon mulai ahli kedokteran, psikologi hingga ahli hukum sudah didengar pandangannya. Beberapa pihak terkait yang pro dan kontra permohonan ini pun sudah didengar keteranganya seperti Komnas Perempuan, ICJR, Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Peduli Sahabat, Persatuan Islam Isteri, YLBHI, dan MUI.

Para Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dimaknai bersyarat agar sejalan dengan norma agama, Pancasila, dan UUD 1945. Misalnya, memperluas makna perzinaan yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi termasuk hubungan badan bagi pasangan yang tidak terikat pernikahan (free sex). Sebab, secara a contrario Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).

Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Artinya, korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi faktanya bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis.

Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya yang diduga belum dewasa atau tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Artinya, setiap jenis perbuatan cabul “sesama jenis” baik dewasa ataupun belum dewasa seharusnya dapat dipidana (lesbian, gay, biseksual, dan transgender, LGBT).
Tags:

Berita Terkait