MUI Minta MK Tolak Perkawinan Beda Agama
Terbaru

MUI Minta MK Tolak Perkawinan Beda Agama

MUI menegaskan Indonesia bukan penganut HAM yang sebebas-bebasnya karena kultur di Indonesia tidak sama dengan kultur pada negara-negara lain di dunia yang merupakan penganut HAM bebas.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Dalam pandangan MUI, kata Arovah, keinginan perkawinan beda agama sebagaimana didalilkan Pemohon merupakan kerugian yang bersifat potensial. Menurutnya, Pemohon pada dasarnya tidak menyadari ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang ada. Sebab dalil “hendak melakukan perkawinan”. Artinya, perkawinan yang dimaksud belum terjadi, sehingga MUI mempertanyakan perkawinan beda agama tersebut yang seharusnya dapat dibatalkan dan menilai alasan Pemohon mengada-ada.

“Adanya dalil HAM dan kebebasan beragama, MUI berpendapat alasan tersebut hanyalah bersifat potensial. Untuk itu, permohonan yang diajukan ini tidak memenuhi syarat dalam Peraturan MK, sehingga MUI selaku Pihak Terkait memohon agar MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Arovah.

Sebelumnya, merasa kesal batal menikah gara-gara kawin beda agama, E. Ramos Petege, “mengadukan” masalahnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon yang memeluk agama Khatolik pernah hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Tetapi, setelah menjalin hubungan selama 4 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut harus dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.

Melalui tim kuasa hukumnya, Ramos mempersoalkan berlakunya Pasal 2 ayat (1), (2), Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (2) menyebutkan setiap perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Intinya, Pemohon meminta MK menafsirkan agar Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan membuka peluang perkawinan beda agama yang didasarkan pada kehendak bebas kedua calon mempelai.

“MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan beda agama adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu. Selain itu, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menjadi berbunyi perkawinan berbeda agama dan kepercayaan dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka sidang,” demikian bunyi petitum permohonan ini.

Pemohon menilai praktik yang paling sering terjadi dalam perkawinan beda agama di Indonesia, salah satu pihak menekan pihak lain untuk tunduk pada suatu golongan atau ajaran agama tertentu. Hal ini tentu telah terjadi pelanggaran HAM terkait kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sesuai amanat Pasal 28E ayat (1) UUD Tahun 1945 dan kebebasan untuk meyakini kepercayaan dan menyatakan sikap sesuai hati nuraninya sebagaimana diatur Pasal 28E ayat (2) UUD Tahun 1945.

“Ketiadaan hukum secara tegas mengenai pernikahan beda agama atau penolakan perkawinan beda agama di Indonesia merupakan tindakan diskriminatif yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM." 

Tags:

Berita Terkait