Napak Tilas 20 Tahun UU Perlindungan Konsumen
Fokus

Napak Tilas 20 Tahun UU Perlindungan Konsumen

BPKN dan BPHN sudah menyuarakan pentingnya revisi UU Perlindungan Konsumen. Ikatan Hakim Indonesia juga menyelenggarakan diskusi perlindungan konsumen di era digital.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Ardiansyah Parman berpendapat sistem perlindungan konsumen yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 sudah tidak memadai jika dihadapkan pada perkembangan ekonomi digital. Beberapa peraturan sektoral juga cenderung gugup dan gagap saat menyikapi berbagai perlindungan konsumen di era digital. Tengok saja sengkarut pengaturan ojek daring. Peraturan yang dibuat menyikapi perkembangan malah dibatalkan Mahkamah Agung, dan kini diterbitkan lagi peraturan baru untuk menyiasati UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

 

(Baca juga: Atur Ojek Motor, DPR Ingin Revisi UU Lalu Lintas)

 

Kepercayaan konsumen dan produsen adalah keniscayaan dalam perkembangan dunia bisnis tersebut. Memperbarui aturan yang ada dinilai Ardiansyah sebagai salah satu jalan memperkuat trust konsumen dan produsen. “UU Perlindungan Konsumen harus direvisi agar mampu mengakomodasi sebesar-besarnya kebutuhan perlindungan konsumen di masa depan,” ujarnya.

 

Apa saja materi UU Perlindungan Konsumen yang perlu diubah, atau materi yang perlu dimasukkan? Pertanyaan ini juga mengemuka saat berlangsungnya Hari Konsumen Nasional. BPKN sudah lama mengusung materi muatan tentang ekonomi digital dan perlindungan data pribadi konsumen. Yang terakhir ini penting mengingat data pribadi konsumen acapkali disebar dalam lalu lintas bisnis.

 

(Baca juga: Menyoroti Perlindungan Konsumen di Era Bisnis Digital)

 

Sinyal pentingnya perubahan juga datang dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM. Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN telah melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan perdagangan lintas negara, termasuk UU Perlindungan Konsumen. Kesimpulnan hasil analisis BPHN, ada 10 pasal yang perlu diubah dari UU Perlindungan Konsumen. Misalnya, Pasal 1 mengenai definisi konsumen, pasal 4 huruf c mengenai ha katas informasi yang benar, pasal 18 mengenai klausula baku, Pasal 22 tentang pembuktian, Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 mengenai beban dan tanggung jawab pelaku usaha, Pasal 23 mengenai pelaku usaha yang menolak memberikan tanggapan atas keluhan konsumen.

 

Berkaitan dengan perubahan pasal-pasal tersebut BPHN merekomendasikan agar Kementerian Perdagangan menindaklanjuti perubahan yang berkaitan dengan Pasal 1, sedangkan BPKN diminta berperan dalam perubahan Pasal 18, Pasal 23 dan Pasal 28 UU Perlindungan Konsumen.

 

Tidak kalah penting adalah suara dari Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Dalam rangka ulang tahunnya yang ke-66 pada Maret lalu, Ikahi menyoroti isu konsumen, termasuk ‘kelemahan’ UU Perlindungan Konsumen. Milad kalangan hakim itu membahas secara khusus perlindungan hukum terhadap konsumen dan pelaku usaha dalam transaksi elektronik di era teknologi digital.

 

Meskipun sudah banyak suara yang menginginkan perubahan UU No. 8 Tahun 1999, hingga kini tidak ada tanda-tanda bakal menjadi prioritas. Dalam daftar RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, RUU Perlindungan Konsumen tak masuk target. Apalagi dalam daftar 27 RUU Prolegnas Prioritas yang sudah masuk pembahasan tingkat pertama. Jika demikian halnya, maka aspek hukum perlindungan konsumen akan berkembang sesuai peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di masyarakat. Dalam proses legislasi, acapkali peristiwa nyatalah yang mendorong lahirnya suatu peraturan. Masyarakat dapat melihatnya pada transportasi ojek online saat ini, dan jual beli barang secara daring yang begitu pesat berkembang.

Tags:

Berita Terkait