Pembebasan secara bersyarat para narapidana korupsi jadi sorotan publik saat ini. Hal ini dianggap indikator bahwa hukuman bagi para koruptor tidak memberi efek jera dan berisiko tingginya kejahatan tersebut.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri mengungkapkan pembinaan para pelaku korupsi pasca putusan pengadilan menjadi kewenangan dan kebijakan Kemenkumham. Meski demikian, korupsi di Indonesia yang telah diklasifikasikan sebagai extra ordinary crime, sepatutnya juga ditangani dengan cara-cara yang extra.
"Termasuk pelaksanaan pembinaan di LP sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses penegakkan hukum itu sendiri. Di mana kita pahami bahwa penegakkan hukum ini juga dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya, agar tidak kembali melakukannya di masa mendatang. Sekaligus pembelajaran bagi publik agar tidak melakukan tindak pidana serupa," ungkap Ali, Rabu (7/9).
Baca Juga:
- Napi Korupsi Bebas Bersyarat, MAKI Kritik Sistem Remisi dan Potongan Hukuman
- Tata Cara Pembebasan Bersyarat Narapidana Korupsi
- Pembebasan Bersyarat Napi Korupsi: Pudarnya Harapan Pemberantasan Korupsi
Sehingga, dia mengungkapkan dalam rangkaian penegakkan hukum ini sepatutnya tidak ada perlakuan-perlakuan khusus yang justru akan mencederai semangat penegakkan hukum tindak pidana korupsi.
"KPK pun melalui kewenangan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan TPK memiliki kebijakan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Baik melalui pidana pokok penjara badan maupun pidana tambahan seperti pencabutan hak politik ataupun merampas asetnya untuk memulihkan kerugian negara," jelas Ali.
Tercatat hingga Agustus 2022 ini KPK telah melakukan perampasan aset atau asset recovery sebesar Rp 303,89 miliar. Asset recovery tersebut berasal dari denda, uang pengganti, rampasan, penetapan status penggunaan (PSP) putusan inkracht TPK.