Seolah tersambar petir, Juli 2015 terasa begitu menyengat. Kabar buruk itu datang! Uang sebesar kurang lebih 1 miliar yang sudah dikirim AT ke rekening PT HSP terancam lenyap. Perusahaan itu bermasalah, tepat pada kali pertama ia harus memberangkatkan jama’ah umrah. Tak satu dua jama’ah menuntut pengembalian dana dan keberangkatan, bahkan rumahnya AT pernah beramai-ramai disambangi para jama’ah. Padahal ia hanya agen yang sebetulnya juga korban.
Bagi AT yang ketika itu hanya bergaji bulanan Rp5 juta dengan 1 istri dan 4 orang anak, ‘kelabat’ merubungi kepalanya. Entah kapan ia sanggup melunasi hutang sebanyak itu. Meski berusaha berpikir positif, senyum getir di wajah pucatnya jelas menyiratkan kekhawatiran. Terlebih ketika tuntutan pidana melayang kepada AK, direktur PT HSP, AT hanya terpikir ‘Jika sang direktur di penjara nanti, bagaimana PT HSP bisa mengusahakan untuk melunasi hutangnya?’. Tepat pada Agustus 2015, AK divonis 2 tahun penjara oleh Putusan Pengadilan Negeri Makassar No. 827/pid.b/2015/PN.Mks.
Lantaran tak paham hukum, AT tak mengerti harus bertindak seperti apa. Sialnya, AT tak tahu bahwa dirinya bisa mengajukan PKPU bersama kreditur lainnya. AT juga tak tahu bagaimana posisinya sebagai agen agar bisa dipulihkan dari kerugian, tak tahu bagaimana caranya berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan hukum.
AT hanya menelan janji manis para petinggi PT HSP dengan harapan ‘semoga uang jamaah saya bisa kembali’. Ya! harusnya ia membayar jasa lawyer untuk memperjuangkan haknya, tapi koceknya terpekik, ‘hutang sudah terlalu banyak!’. Rasa tanggung jawabnya yang besar membuat AT akhirnya membuat hutang baru dengan travel lain dengan menggadaikan satu-satunya tanah yang dimiliki.
