Noktah Pemasyarakatan dan Momentum Pembaruan Sistem Pemidanaan
Kolom

Noktah Pemasyarakatan dan Momentum Pembaruan Sistem Pemidanaan

Berbagai peristiwa dan kondisi ini perlu menjadi fokus untuk kembali memikirkan alternatif pemidanaan dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Bacaan 6 Menit

Secara ringkas pembentukan Mandela Rules didasarkan pada kondisi obyektif di berbagai negara yang memiliki kondisi hukum, sosial, ekonomi, dan geografi yang berbeda, akan tetapi perlu dibentuk regulasi yang jelas agar seluruh aturan minimum standar ini dapat diterapkan di setiap tempat dan di setiap waktu. Prinsip dasar dalam Mandela Rules adalah aturan-aturan yang disusun bersifat imparsial (tidak memihak), pelarangan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau opini lain, kebangsaan atau golongan sosial, kekayaan, keturunan atau status lain. Demikian halnya keyakinan agama dan aturan moral dari kelompok yang menjadi kelompok asal si tahanan perlu dihormati.

Secara garis besar narapidana ataupun tahanan memiliki berbagai hak yang dimulai sejak proses registrasi. Kemudian penting adanya pemisahan berdasarkan kategori kejahatan/tindak pidana, diadili terpisah dengan yang sudah divonis; jenis kelamin dan usia. Dalam aspek kebutuhan pribadi berupa akomodasi berupa sel, bangsal, tempat tidur, udara, pencahayaan dan instalasi sanitasi dan mandi, serta higine meliputi kebersihan pribadi, kebutuhan tiolet dan kebutuhan khusus baik laki-laki dan perempuan. Bahkan regulasi menetapkan mengenai pakaian dan perlengkapan tidur yang harus nyaman disesuaikan dengan musim/iklim, serta standar lokal dan nasional yang memadai dan layak. Jaminan terhadap kualitas dan kuantitas makanan bergizi yang menjamin mutu dan kesehatan, serta tersedianya air minum juga menjadi hak dasar, bersama dengan hak untuk gerak badan dan olahraga. Dalam aspek pelayanan medis harus tersedia dan perawatan intensif jika diperlukan.

Mandela Rules juga mengingatkan kepada negara-negara yang menjunjung tinggi keadaban dengan melarang tindakan disiplin dan hukuman badan, hukuman sel gelap, hukuman kejam tidak manusiawi, merendahkan martabat. Selain itu secara tegas penggunaan alat kekang seperti borgol, rantai, besi pemberat, dan jaket lurus sama sekali dilarang.

Selain berbagai macam standar minimum yang harus diberikan kepada para tahanan dan nara pidana, beberapa ketentuan dalam Mandela Rules juga memberikan jaminan kepada para penghuni untuk berinteraksi atau berkomunikasi dengan dunia luar baik melalui korespondensi atau menerima kunjungan. Selain itu diberikan kesempatan untuk membaca dan mengembakan diri, serta dalam aspek privat menjalankan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Untuk menjamin akuntabilitas disediakan ruang atau mekanisme pengaduan.

Mengharapkan idealitas sebagaimana ditetapkan PBB dalam Mandela Rules merupakan jalan panjang di Indonesia. Secara formal baik RPJMN, Cetak Biru dan berbagai keputusan politik – termasuk upaya melibatkan swasta sebagaimana diinisiasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan menggelar market sounding untuk menawarkan proyek pembangunan di Ciangir, Tangerang, serta pemanfaatan lahan eks Rutan/Lapas Salemba senilai Rp1,2 triliun belum juga sepenuhnya berhasil.

Di satu sisi ancaman terhadap hak hidup dalam Lapas dan Rutan di Indonesia ternyata tidak saja berkorelasi dengan impelmentasi pemenuhan hak-hak mereka. Akan tetapi dari peristiwa besar yang terjadi justru dipicu faktor sarana-prasarana karena terbakar. Masih lekat dalam ingkatan kita pada Juni 2013 kebakaran di Lapas Tanjung Gusta, Medan mengakibatkan 5 (lima) korban tewas yakni sipir, juru masak dan tahanan. Demikian halnya pada Maret 2016, kebakaran di Rutan Bengkulu menyebabkan 5 (lima) orang narapidana tewas, mereka tidak bisa dievakuasi karena selnya terkunci. Sedangkan kebakaran pada Januari 2017 di LP Banda Aceh tidak menimbulkan korban jiwa.

Meskipun demikian tidak semua kebakaran disebabkan instalasi sarana-prasarana. Dalam peristiwa kebakaran di Lapas Klas IIA Jambi pada Maret 2017 diduga dipicu para penghuni dengan cara merusak dan membakar blok sehingga menimbulkan korban luka 6 (enam) orang sipir dan 6 (enam) petugas Kepolisian. Sedangkan di Sigi, Sulawesi Tengah terjadi kebakaran di 6 (enam) kamar sel yang menyebabkan 45 (empat puluh) lima narapidana melarikan diri.

Tags:

Berita Terkait