Noodweer dan Eigenrichting dalam Perspektif Pertanggungjawaban Hukum Pidana
Terbaru

Noodweer dan Eigenrichting dalam Perspektif Pertanggungjawaban Hukum Pidana

Pentingnya membedakan mana perbuatan yang dapat dipidana dalam konteks percampuran peristiwa pidana (pembegalan dan pembunuhan begal) dengan membedakan pembelaan diri (noodweer) dan main hakim sendiri (eigenrichting).

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI), Aldwin Rahadian. Foto: istimewa.
Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI), Aldwin Rahadian. Foto: istimewa.

Awal 2022, masyarakat dihebohkan akan penetapan tersangka seorang korban begal yang membunuh pelaku begal. Kepolisian pun dituntut untuk membuat pedoman batas pembelaan diri yang dibenarkan menurut hukum. Polemik muncul: bolehkah melakukan pembelaan diri terhadap tindak pidana yang ditujukan pada seseorang atau korban hanya dapat pasrah?  

 

Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI), Aldwin Rahadian menjelaskan pentingnya membedakan mana perbuatan yang dapat dipidana dalam konteks percampuran peristiwa pidana (pembegalan dan pembunuhan begal) dengan membedakan pembelaan diri (noodweer) dan main hakim sendiri (eigenrichting).

 

Mengutip artikel berjudul ‘Implementasi Alasan Penghapus Pidana karena Daya Paksa dalam Putusan Hakim’ di Jurnal Diponegoro Law Review Vol 4 No. 1 (2015), menurut hukum pidana, tidak semua peristiwa pidana (strafbaar feit) dapat dimintakan pertanggungjawaban. Ada doktrin yang dikenal dengan alasan-alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden)  atau alasan-alasan penghapus kesalahan (schulduitsluitingsgronden). Jika terdapat salah satu alasan penghapus pidana dalam suatu peristiwa pidana, pelakunya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dalam hukum positif Indonesia, alasan atau dasar penghapus pidana ini diatur dalam Pasal 44 sampai 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang terdiri atas dasar pemaaf dan dasar pembenar. 

 

Adapun salah satu bentuk alasan pembenar adalah bela paksa (noodweer). Merujuk pada Pasal 6 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 14 angka 2 ICCPR, jika seseorang melakukan pembelaan diri ketika ia menjadi korban tindak pidana, ia tidak dapat dipidana. “Dalam konteks korban begal yang membunuh pelaku begal, misalnya, sang korban tidak dapat dijatuhi pidana jika ia memang benar melakukan pembelaan paksa sesuai ketentuan Pasal 49 KUHP,” kata Aldwin.

 

Pembelaan Diri Terpaksa Menurut KUHP

KUHP tidak mengenal istilah pembelaan diri maupun padanannya, melainkan hanya ‘perbuatan yang terpaksa dilakukan’. Istilah yang mendekati bela diri adalah noodweer, Memorie van Toelichting (M.v.t) atau memori penjelasan dari KUHP. Noodweer dapat diterjemahkan menjadi bela paksa (nood artinya terpaksa atau darurat dan weer berarti pembelaan); yang pengaturan normatifnya dapat ditemukan dalam Pasal 49 KUHP. Bela paksa terdiri atas bela paksa biasa dan bela paksa berlebihan (pembelaan diri yang melampaui batas sehingga tidak bersifat seimbang (syarat subisidaritas).

 

Berikut adalah ketentuan yang termuat dalam Pasal 49 KUHP.

 

  1. “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.”
  1. “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”

 

Memori penjelasan dari Pasal 49 ayat (1) KUHP menyatakan, suatu perbuatan dianggap pembelaan diri terpaksa (noodweer) ketika memenuhi sejumlah syarat, seperti (1) serangan (dari pihak lawan yang bersifat melawan hukum; (2) adanya bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda, milik sendiri atau milik orang lain; dan (3) adanya keperluan untuk melakukan perbuatan (bela diri) yang bersangkutan.

Tags: