Norma e-Government Bakal Masuk dalam Perubahan UU Pelayanan Publik
Berita

Norma e-Government Bakal Masuk dalam Perubahan UU Pelayanan Publik

Pelayanan publik berbasis teknologi. Kendalanya, jaringan internet belum stabil dan menjangkau semua desa di seluruh Indonesia.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah (PPU DPD) terus menyisir berbagai materi yang bermasalah dalam implementasi UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Menyerap aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan menjadi bagian memperkaya materi muatan perubahan UU Pelayanan Publik. Salah satu diantaranya tentang memasukkan norma baru berupa e-Government dalam materi muatan perubahan UU 25/2009.

Ketua PPUU DPD Badikenita Putri Sitepu mengatakan pihaknya sedang menyusun draf revisi UU 25/2009. Ada berbagai isu krusial yang perlu diakomodir dalam revisi UU 25/2009. Salash satunya, ada pengaturan penyelenggaraan pelayanan publik secara elektronik sebagai bagian dari pelaksanaan e-government. Karena itu, pengaturan e-government menjadi bagian yang bakal diatur dalam materi muatan dalam draf RUU Pelayanan Publik.

“Kesiapan e-government merupakan salah satu norma baru yang akan dibahas dalam perubahan UU Pelayanan Publik,” ujar Badikenita Putri Sitepu dalam rapat dengar pendapat dengan sejumlah pemangku kepentingan secara virtual di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (25/3/2021). (Baca Juga: Pemerintah Sampaikan Enam Poin Penting Perubahan UU Pelayanan Publik)

Menurut dia, pengaturan terkait inovasi implementasi pelayanan publik perlu diatur mengenai insentif bagi pengembangan inovasi pelayanan publik.

PPUD DPD juga melihat perlu pengaturan pelayanan publik bagi kelompok rentan dengan pelayanan publik secara berjenjang. Perlu pula mengatur kerja sama antarsesama penyelenggara pelayanan publik dengan pihak lainnya,” ujar Senator asal Sumatera Utara itu.  

Anggota PPUU DPD Sukisman Azmy menilai konsekuensi dari dunia digital, pelayanan publik mesti diimbangi dengan ketersediaan teknologi serta jaringan internet yang stabil. Baginya, mau tak mau pelayanan publik mesti terintegrasi melalui jaringan internet secara luas. Hal itu pula menjadi persoalan. “Apakah mungkin Indonesia yang begitu luas hanya menggunakan satelit saja. Sebab UU ini harus didukung oleh teknologi yang mumpuni,” ujar senator asal Nusa Tenggara Barat itu.

Sementara senator asal Provinsi Sulawesi Utara, Djafar Alkatiri menilai persoalan konektivitas di Indonesia menjadi kendala dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Djafar tak menampik masih tak stabilnya jaringan internet di banyak daerah. Bahkan berdasarkan data dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trasmigrasi, terdapat 12.548 desa belum terakses jaringan internet fourth-generation technology (4G).

“Hal ini harus menjadi prioritas dalam pembangunan. Sejauh mana daerah-daerah tertinggal dan terluar dapat diakses oleh teknologi,” jelasnya.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengamini pandangan PPUD DPD. Dia menegaskan Indonesia perlu terkoneksi dengan jaringan internet secara merata. Dengan begitu, penyelenggaraan pelayanan publik ke depannya dapat berbasis teknologi, terbuka, dan ramah terhadap masyarakat.

Prinsipnya, pemerintah mendukung usul insiatif DPD dalam membuat pengaturan penyelenggaraan pelayanan publik yang jauh lebih ramah, mudah, dan maju dari sebelumnya. Baginya, pengembangan penyelenggaraan pelayanan publik berbasis digital amat penting. Karena itu, Kemenkominfo bakal mengembangkan 100 smart city sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintah daerah agar mengakselerasi pemanfaatan teknologi digital.

“Kami mendukung RUU inisiatif dari PPUU DPD RI untuk mewujudkan Indonesia terkoneksi dan semakin maju,” ujar mantan anggota DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Nasional Demokrat itu.

Senada, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Sekjen Kemendagri), Muhammad Hudori menilai, usulan pengaturan kerja sama antar sesama penyelenggara pelayanan publik di level kementerian/lembaga perlu dimasukan dalam materi muatan. Selama ini belum ada pengaturan kerja sama secara keseluruhan bagi kementerian/lembaga.

Bagi Hudori, UU 25/2009 masih terdapat banyak kekurangan. Bahkan belum menampung perkembangan administrasi pemerintahan dan kebutuhan masyarakat dalam pelayanan publik. Itu sebabnya, menjadi mendesak keberadaan perubahan terhadap UU 25/2009. Dia menilai ada urgensi revisi UU 25/2009 terkait peningkatan kualitas pelayanan publik melalui inovasi dan pemanfaatan teknologi informasi. “Ini yang menjadi tuntutan masyarakat seiring dengan perkembangan sosial ekonomi,” katanya.

Pengawasan

Sementara Badikenita pun menyorot perlunya penerapan pengawasan ketat terhadap penyelenggara pelayanan publik di daerah. Selama ini pengawasan dilakukan oleh Kemendagri berdasarkan amanat UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dia mengusulkan agar dalam pengawasan perlu melibatkan DPD sebagai representasi daerah dalam pelaksanaan pengawasan pelayanan publik di daerah.

Dia mewanti-wanti revisi UU 25/2009 penting memperkuat fungsi pengawasan dan percepatan penyelesaian pengaduan publik oleh pemerintah daerah. Kemudian adanya integrasi satu data dalam satu sistem pelayanan publik di berbagai daerah dan instansi. Dengan begitu, nantinya mekanisme pengawasan menjadi lebih terkontrol.

Sementara senator asal Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang menilai peran kunci dalam pelayanan publik berada pada koordinasi antara Kemendagri dengan pemerintah daerah. Dengan begitu, nantinya ada kepastian tanpa membedakan penyelenggaraan pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat.

Tags:

Berita Terkait