Normal Baru yang Abnormal
Tajuk

Normal Baru yang Abnormal

Normal baru akan menuntut kita untuk lebih produktif untuk bisa kompetitif, dan bukan lagi jadi makhluk konsumtif.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit

Krisis moneter Asia 1998 telah mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi di Indonesia. Bekasnya masih terasa sampai sekarang, terutama di bidang politik, demokratisasi Indonesia, dan ketahanan sistem perekonomian dan perbankan. Krisis yang diakibatkan pandemi Coronavirus-19 ini juga mengguncangkan banyak aspek kehidupan kita. Harapannya, dari krisis ini tidak timbul krisis politik, sosial dan kemanusiaan, yang ditakutkan akan bisa memporak-perandakan upaya-upaya kita memperbaiki Indonesia sejak awal reformasi.

Normal Baru merujuk pada cara hidup kita yang berubah utamanya dari segi cara kita menekan tingkat penularan dengan menjaga kesehatan. Untuk negara kaya seperti Jerman, Swiss, Jepang, Korsel, China, negara-negara di Skandinavia, dan Amerika, kecepatan mereka untuk memasuki dan beradaptasi dengan kehidupan Normal Baru akan terlihat dalam beberapa bulan ke depan, apapun kebijakan yang mereka ambil. Untuk negara-negara lain, di mana dampaknya akan lebih dalam dikarenakan kondisi mereka yang vulnerable, kecepatan itu variatif, dan akan sangat tergantung dari kebijakan yang diambil, kesiapan infrastruktur kelembagaan, kecukupan dana yang tersedia, kecepatan pemulihan kehidupan perekonomian, ketegasan pelaksanaan kebijakan di lapangan dan disiplin masyarakatnya sendiri.

Untuk Indonesia sendiri, saya pikir kita perlu memperhatikan dengan sangat hati-hati beberapa hal berikut:

(i). Di tingkat kebijakan, pemerintah dengan benar telah menegaskan bahwa kebijakan utama yang diambil difokuskan kepada menangani masalah ini sebagai masalah kesehatan masyarakat. Nyawa satu orang merupakan kehilangan besar, nyawa ribuan korban bukan semata statistik. Perdebatan health or wealth, tidak ada gunanya, karena keduanya sama pentingnya. Kehidupan Normal Baru, di mana di antaranya adalah ekonomi yang harus bergerak kembali, tidak bisa dihalangi. Kebijakan menuju Normal Baru dari pendekatan ekonomi harus tetap mengacu pada perhitungan ilmiah para ahli pandemi. Pelonggaran kegiatan ekonomi hanya bisa dilakukan kalau pemerintah di satu sisi, dan pengusaha yang mulai bergerak di sisi lain, mampu mengendalikan bahwa kegiatan ekonomi yang mulai dibuka tidak mengakibatkan masalah penularan masif baru.  Apa yang dikatakan oleh pemerintah tentang kebijakan yang mengutamakan kesehatan masyarakat harus diuji dengan fakta dan kenyataan di lapangan. Para ahli kesehatan masyarakat sudah memperingatkan: "Ini membutuhkan ketekunan dan kesabaran, tidak ada jalan cepat menuju kehidupan normal" (Henri P Kluge, Direktur Regional WHO untuk Eropa).

WHO menetapkan sejumlah kriteria menuju transisi ke tatanan normal baru: (i) pemerintah bisa membuktikan bahwa transmisi dan risiko penularan Covid-19 sudah dikendalikan (reproduction rate di bawah 1 minimal selama 2 pekan,  jumlah terkonfirmasi positif minimal 5% dari total sampel yang diuji, dan penurunan angka kasus minimal 50% dan terus menurun selama tiga pekan setelah puncak pandemi di wilayah tersebut), (ii) fasilitas kesehatan siap menampung lonjakan jumlah pasien Covid-19 dan siaga dalam mengidentifikasi kasus baru. Dikabarkan, menurut sumber WHO, kondisi Indonesia masih jauh di bawah persyaratan WHO, karena angka penularan masih belum bisa dikendalikan, misalnya standar tingkat penularan WHO ditetapkan sebesar 4%, sedangkan Indonesia masih berada diangka 12% (sumber: Koran Tempo, Tak Ada Jalan Cepat Menuju Normal Baru, 29/5/2020). Sekali lagi, telinga kanan pengambil keputusan boleh saja mendengar suara para ahli ekonomi dan pengusaha, tetapi telinga kiripun harus mampu mendengar suara para ahli pandemi dan keresahan masyarakat.

(ii). Banyak kasus di dunia, penguasa di masa pandemi, menginginkan kebijakan yang terpadu, dari atas kebawah, dari pusat ke daerah, dengan tujuan mencapai percepatan untuk keluar dari masa pandemi. Kebijakan yang terpadu bisa saja betul, tetapi juga bisa salah besar. Boleh saja kebijakan protokol kesehatan dan penyiapan infrastruktur dan fasilitas kesehatan disatupadukan karena hal tersebut merupakan persyaratan dan kebutuhan umum yang sama, di manapun kita berada. Akan tetapi pembatasan sosial, kegiatan ekonomi, dan sistem transportasi misalnya, bisa sangat berbeda kondisinya dari satu Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Kota bahkan Propinsi dengan yang lainnya. Kondisi dan kebutuhan tersebut hanya bisa dikuasai data, informasi dan disiplin masyarakatnya oleh pimpinan daerah setempat. Dalam sistem federal di AS, kita saksikan Trump harus perang urat syaraf dan kata-kata pedas dengan sejumlah gubernur negara bagian yang punya kewenangan penuh mengatur negara bagiannya sendiri. Indonesia, negara kesatuan, tentu punya dinamikanya sendiri. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memberikan kewenangan daerah untuk melakukan pengutamaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi dan penggunaan APBD sesuai dengan Peraturan Mendagri.

Ini tentunya ditujukan utamanya untuk penanganan masalah yang timbul karena pandemi Covid-19. Undang-Undang Nomor 24 ahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan pelaksanaannya juga memberikan kewenangan besar kepada Pemda untuk menerapkan kebijakan penanggulangan bencana, termasuk karena pandemi, yang lebih sesuai dengan karakteristik daerahnya dan tingkah laku anggota masyarakatnya. Kepala daerah hanya perlu memahami regulasi yang memberikan kewenangan mereka dengan kehati-hatian yang tinggi, karena ini menyangkut akuntabilitas penggunaan anggaran, tetapi selebihnya, mereka dituntut untuk mempunyai keberanian dan inisiatif yang di luar kotak biasa untuk menyelamatkan rakyatnya, dari serangan virus, maupun dari tuntutan kehidupan sehari-hari.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait