Normal Baru yang Abnormal
Tajuk

Normal Baru yang Abnormal

Normal baru akan menuntut kita untuk lebih produktif untuk bisa kompetitif, dan bukan lagi jadi makhluk konsumtif.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit

(iii). Terkait dengan poin (ii) di atas, proses pembentukan kebijakan yang dibentuk dengan keinginan untuk mencapai efektivitas yang tinggi, tekanan waktu, dan untuk kemudian mengawal kebijakan yang tujuannya baik, terkadang mengurangi prinsip-prinsip demokrasi, di manapun di dunia. Banyak contoh, di mana proses demokratis menjadi mulai ditabrak karena kedaruratan yang tinggi. Pelaksanaan di lapangan yang tujuannya untuk mendisiplinkan masyarakat, juga sering keluar dari garis hukum yang mendasar. Wacana dan diskursus di masyarakat lewat media dan media sosial, bahkan diskusi di kampus-kampus, untuk meluruskan kebijakan yang disangka bermasalah atau sekadar bincang akademis, dibungkam karena dianggap berbahaya untuk menjaga stabilitas di tengah pandemi. Ini merupakan kecenderungan yang berbahaya untuk demokrasi. Setiap warga masyarakat harus mulai menyadari kecenderungan ini sebelum segalanya menjadi kebablasan. Kita tidak bisa kehilangan momentum untuk meneruskan proses demokratisasi di Indonesia. Biayanya terlalu besar. Kita sudah cukup babak belur dalam perjuangan melawan korupsi belakangan ini. Ketika korupsi kembali merebak, dan demokrasi diinjak, kita mulai memasuki masa-masa hitam kembali, dan sulit dan lama untuk bangkit kembali.

(iv). Ketika "work from home" menjadi suatu keniscayaan baru, banyak sektor kehidupan percaya bahwa pemecahannya salah satunya adalah teknologi. Kerja kantoran, birokrasi, proses yudisial, sektor swasta, kerja profesi (hukum, pajak, manajemen, SDM, keuangan dan lain-lain), pengaturan transportasi, belanja daring langsung dari petani, peternak dan perajin (yang memutus rantai middle man), sistem pendidikan, layanan kesehatan pribadi dan keluarga, dapat dilakukan lebih dari 50% dengan sistem jarak jauh dengan teknologi yang semakin murah. Perubahan ini mengakibatkan timbulnya tata cara dan kelola yang baru, persyaratan baru, etika baru, dan dampak serta akibat yang baru dari hubungan-hubungan kerja, hukum, transaksional dan profesional tersebut. Karena gejala ini merupakan gejala dunia, aturan dan tata kelola yang dianggap universal dan dapat diterima secara baik akan segera muncul, sebagai tuntutan praktik kehidupan yang baru, apakah dengan terdokumentasi secara hukum atau tidak. Upaya para penyintas biasanya lebih fokus, praktis dan cepat menjadi norma yang umum. Satu contoh saja yang mungkin relevan buat kita di Indonesia, dari sudut pembiayaan, berapa persen dari APBN kita ditujukan untuk pendidikan dasar, menengah dan tinggi. APBN 2020 kita mencatat dana untuk pendidikan, memenuhi amanat konstitusi, berjumlah Rp508,1 triliun, dengan alokasi di antaranya BOT sebesar Rp64 triliun, sarana prasarana PAUD Rp307,6 miliar, bangun/rehabilitasi ruang kelas Rp8 triliun, dan bangun/rehabilitasi kampus Rp4,4 triliun. Sebagian besar dari dana tersebut bisa dipangkas dengan melakukan konversi pendidikan tatap muka menjadi pendidikan daring. Kebijakan yang berlaku sekarang mengharuskan pendidikan (tinggi) yang menerapkan program blending (daring dan tatap muka) untuk menerapkan rasio yang lebih besar untuk tatap muka dibanding dengan cara daring, kalau tidak salah 51:49. Kalau saja kebijakan ini diubah, utamanya dengan Normal Baru ini, misalnya rasionya menjadi 80 (daring) : 20 (tatap muka), bisa dibayangkan berapa penghematan bisa kita lakukan. Untuk jenis pendidikan yang tidak membutuhkan kerja praktik, mungkin rasio pendidikan dengan cara daring ini bisa ditingkatkan lebih maksimal.

Hal yang sama bisa dilakukan dibidang layanan kesehatan, kecuali untuk kasus-kasus kedaruratan, sehingga bisa dihemat biaya yang selama ini dialokasikan untuk pembangunan fisik rumah sakit atau puskesmas, biaya transportasi, pengobatan, serta ikutannya. Daftar penghematan bisa diperpanjang dengan meneliti apa yang selama ini dipusatkan pada ketergantungan akan gedung, ruangan, antrian, jarak dan transportasi, serta distribusi barang dan jasa. Biaya hasil penghematan difokuskan untuk membangun teknologi tersebut. Kita sudah memiliki sendiri satelit komunikasi dan bisa mengadakan lebih lagi. Kita sudah memiliki jaringan internet sampai pelosok daerah. Kita memiliki sumber daya manusia berlimpah yang sudah ahli dalam membangun dan mengelola teknologi ini. Kita juga sudah kenal 3-D bahkan 4-D printing yang segera bisa membuat proses produksi dilakukan dalam skala rumahan dengan kreativitas tanpa batas.

(v) Akhirnya, bagian yang paling sulit dari semua itu adalah membangun budaya baru dari Normal Baru. Normal Baru untuk mereka yang pekerja keras seperti tabiat mayoritas bangsa kita bukan hal sulit untuk dilakukan. Normal Baru hanya sulit untuk mereka yang malas dan takut bersaing. Normal baru akan menuntut kita untuk lebih produktif untuk bisa kompetitif, dan bukan lagi jadi makhluk konsumtif. Budaya baru ini bisa tumbuh kalau legislasi jelas, sistem insentif dan penegakan disiplin tegas, dukungan penuh pemerintah diberikan untuk infrastruktur teknologi, dan para pemangku kepentingan bahu-membahu untuk fokus secara intens dalam 1-2 tahun ke depan. Kita tidak tahu dengan Normal Baru ini dunia arahnya akan ke mana, bagaimana juga nasib globalisasi, bagaimana pula akhir dari perang dagang AS-China, kemudian bagian mana dari dunia yang akan sangat terpuruk karena pandemi ini, dan bagian mana yang menang dari perang melawannya. Tanpa ingin lepas dari hubungan persahabatan dengan siapapun di dunia, sudah waktunya pemerintah dan bangsa ini menolong dirinya sendiri bersiap dengan semua kondisi yang memaksa kita untuk hidup dengan selamat dan sejahtera di Normal Baru.

Sentul Selatan, 3 Bulan WFH.

ats, akhir Mei 2020

Tags:

Berita Terkait