Notaris Persoalkan Kewenangan Jaksa Boleh Ajukan PK
Utama

Notaris Persoalkan Kewenangan Jaksa Boleh Ajukan PK

Pemohon meminta Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP sesuai Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Kewenangan jaksa yang boleh mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam Pasal 30C huruf h UU No.11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dipersoalkan seorang Notaris bernama Hartono, S.H. Melalui Tim Kuasa Hukumnya, Hartono menilai pasal itu bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan Putusan MK.      

Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan berbunyi, “Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B, Kejaksaan: h. mengajukan Peninjauan Kembali."

"Dalam bahasa kasarnya, UU ini melawan putusan Mahkamah Konstitusi," kata salah satu kuasa hukum pemohon, M Sholeh dalam pendahuluan di ruang sidang MK yang juga disiarkan lewat Chanel YouTube MK, Kamis (23/2/2023). Dalam sidang, Hartono didampingi kuasa hukumnya, Singgih Tomi Gemilang, M Sholeh, dan Antonius Yongki.

Sholeh menerangkan MK sudah pernah melarang jaksa mengajukan PK dalam Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016. Namun, dalam UU Kejaksaan, kewenangan itu dihidupkan lagi melalui norma Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan.

Baca Juga:

Seperti diketahui, melalui Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 tertanggal 12 Mei 2016, MK pernah mengakhiri polemik boleh atau tidaknya Jaksa Penuntut Umum mengajukan PK lewat uji materi Pasal 263 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai 904 miliar. MK menyatakan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.

“Mengabulkan permohonan Pemohon, Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit (tegas) tersurat dalam norma a quo,” demikian bunyi amar Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016.    

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait