OJK Ingatkan Lembaga Jasa Keuangan Tidak Terlibat Bitcoin
Aktual

OJK Ingatkan Lembaga Jasa Keuangan Tidak Terlibat Bitcoin

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
OJK Ingatkan Lembaga Jasa Keuangan Tidak Terlibat Bitcoin
Hukumonline

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang lembaga jasa keuangan di Bali untuk terlibat memanfaatkan dan memasarkan mata uang digital atau "bitcoin" karena tidak memiliki legalitas dari Bank Indonesia (BI).

 

"Karena itu berisiko tinggi, maka lembaga keuangan yang diatur oleh OJK, dilarang terlibat dengan bitcoin," kata Kepala OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara Hizbullah di Denpasar, Senin (22/1/2018) seperti dikutip Antara.

 

Menurut Hizbullah, lembaga jasa keuangan seperti di antaranya perbankan apabila terlibat sampai ikut memperjualbelikan bitcoin tersebut, maka lembaga jasa keuangan itu akan diberikan sanksi. "Sanksi tergantung kesalahannya bisa berat bisa ringan," ujar Hizbullah.

 

Meski demikian, hingga saat ini belum ada laporan atau temuan bahwa lembaga jasa keuangan khususnya yang beroperasi di Bali terlibat dalam sistem mata uang digital tersebut.

OJK, lanjut dia, tidak memiliki kewenangan terkait bitcoin tersebut karena otoritas jasa keuangan mengawasi tindak tanduk lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi hingga, lembaga pembiayaan. Baca Juga: Risiko Jual Beli Bitcoin Tidak Dijamin Otoritas Manapun

 

Hizbullah mengingatkan Bitcoin tidak memiliki dasar yang kuat sebagai mata uang, tidak seperti mata uang Rupiah yang merupakan mata uang sah sebagai sistem pembayaran di Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

 

Begitu juga dengan mata uang sah negara lain seperti dolar AS yang diterbitkan oleh bank sentral AS, the Fed, Yen dari Jepang, Euro dari Uni Eropa dan mata uang sah lainnya. Selain itu bitcoin, lanjut dia, tidak ada penanggung jawabnya, nilai berfluktuatif yang tidak wajar dan pelaku yang melakukan transaksi juga tidak jelas.

 

Sebelumnya, BI telah melarang penggunaan bitcoin karena tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Terutama UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyebutkan tujuan pembayaran atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah.

 

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Causa Iman Karana mengatakan pihaknya menyebar tim khusus bersama kepolisian untuk menyelidiki praktik transaksi menggunakan mata uang virtual atau bitcoin itu. "Kami ingatkan kepada masyarakat berhati-hati dengan transaksi menggunakan bitcoin karena mata uang seperti itu tidak ada otoritas yang mengatur, tidak ada undang-undangnya dan tidak jelas," ujarnya mengingatkan..

 

Sejak beberapa waktu lalu, BI tegas melarang penggunaan virtual currency termasuk Bitcoin sepanjang digunakan untuk alat pembayaran. Selain alasan risiko serta tidak adanya aspek perlindungan konsumen, sikap tegas BI melarang penggunaan virtual currency ini berangkat dari larangan dalam sejumlah regulasi, yakni UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, PBI Nomor 7/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah, PBI Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelengaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, dan PBI Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (tekfin).

 

Empat regulasi di atas tidak menyebut tegas larangan penggunaan Bitcoin atau uang digital lainnya melainkan sekedar larangan penggunaan virtual currency oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) atau financial technology. Larangan penggunaan virtual currency sebagai alat bayar tersebut terbatas dengan kewenangan BI selaku otoritas dalam sistem pembayaran di Indonesia. Dengan kata lain, eksistensi virtual currency sepanjang tidak dipakai sebagai alat pembayaran masih abu-abu (grey area). (ANT)

Tags: