OJK Nilai Pungutan Bagian dari Keuangan Negara
Berita

OJK Nilai Pungutan Bagian dari Keuangan Negara

Untuk memperjelas status dana pungutan jika terjadi persoalan.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
OJK Nilai Pungutan Bagian dari Keuangan Negara
Hukumonline
Mahkamah Agung (MA), Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melakukan kerjasama dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para hakim di seluruh Indonesia, khususnya di bidang kebanksentralan dan sektor jasa keuangan. Kerjasama tersebut dimulai dengan adanya temu wicara, antara perwakilan BI dan OJK bersama para Hakim Agung.

Dalam temu wicara tersebut, OJK yang diwakili Wakil Ketua Dewan Komisioner Rahmat Waluyanto memaparkan fungsi pengawasan otoritas setelah beralihnya fungsi pengawasan perbankan dari BI serta pengawasan pasar modal dan sektor jasa keuangan dari Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK).

Meski OJK memiliki fungsi pengawasan yang terintegrasi, koordinasi dengan BI, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) maupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam mencegah terjadinya krisis sangat penting.

“Betapa pentingnya koordinasi antar otoritas,” kata Rahmat di Jakarta, Kamis (5/6).

Menurutnya, salah satu yang perlu diperjelas adalah mengenai status dana pungutan OJK. Kejelasan status ini penting bagi para hakim jika kedepannya terdapat persoalan terkait dana pungutan tersebut. Dari hasil diskusi Rahmat dengan sejumlah ahli hukum keuangan negara maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), disimpulkan bahwa dana pungutan merupakan bagian dari keuangan negara.

Hal ini dikarenakan, dana pungutan berlaku berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK dan aturan pelaksanaannya, yakni PP No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK. “Pemahaman saya, penarikan pungutan itu bagian dari keuangan negara,” kata Rahmat dalam temu wicara.

Terkait sengketa antara konsumen dengan pelaku jasa keuangan, OJK lebih mengutamakan penyelesaiannya melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR), sebelum sengketa berlanjut ke pengadilan. Namun, lanjut Rahmat, jika penyelesaian sengketa tersebut tak ada titik temu, maka OJK siap membantu konsumen sesuai peraturan perundang-undangan.

“Mengenai perlindungan konsumen, kami utamakan prevention (pencegahan) dibandingkan hal uang bersifat represif,” katanya.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara juga memaparkan fungsi bank sentral setelah pengawasan perbankan beralih ke OJK. Menurutnya, salah satu yang menjadi concern BI kini menjaga rasio utang luar negeri agar tetap terkendali. Ia mengatakan, utang bukanlah hal yang aneh dalam dunia bisnis. Dengan adanya utang, perbankan menjadi stabil.

“Utang hal yang biasa, masyarakat berhutang, korporasi berhutang, bank jadi hidup,” katanya.

Menurutnya, yang tidak boleh adalah utang yang tidak terkontrol. Misalnya, utang lebih besar dari pada penghasilan. Mirza mengatakan, jika dilihat dari rasio utang Indonesia masih relatif aman, sekitar 25-27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan,  jika dibandingkan negara lain seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, rasio utang Indonesia jauh di bawah mereka.

“Negara seperti AS utangnya 80 persen dari PDB. Jepang, sudah lebih dari 200 persen dari PDB,” tuturnya.

Atas dasar itu,  BI terus menjaga agar defisit APBN di bawah tiga persen, sesuai perundang-undangan. “Makanya defisit harus terus dijaga. Sekarang kita sudah dibatasi oleh UU, defisit tidak boleh lebih besar tiga persen dari PDB,” ujar Mirza.

Di tempat yang sama, Hakim Agung Gayus Lumbuun menilai temu wicara dengan BI dan OJK seperti ini sangat penting untuk mengetahui wewenang masing-masing lembaga. Terlebih lagi mengenai proses pengawasan di sektor keuangan.

“Selama ini, sebelum ada OJK, pengawasan keuangan dan moneter itu diawasi oleh Pemerintah dan BI. Masyarakat menduga selalu terjadi kompromi-kompromi antara keduanya yang merugikan masyarakat dengan kebijakannya,” katanya.

Menurutnya, kehadiran OJK penting untuk membuktikan bahwa otoritas tersebut harus memiliki independensi yang tinggi. Seluruh persoalan yang ditemukan oleh OJK, bisa saja bergulir ke pengadilan. Maka dari itu, temu wicara dengan OJK dan BI merupakan momen penting bagi para hakim untuk menambah wawasannya di sektor keuangan.

“Inti pertemuan, kami ingin memperhatikan apa saja yang dianggap OJK itu pelanggaran-pelanggaran di industri perbankan maupun non perbankan di bidang keuangan negara,” tuturnya.

Ia mengatakan, salah satu input yang penting dalam pertemuan ini adalah penentuan OJK mengenai kebijakan mana saja yang melanggar keuangan negara atau bukan. “Karena hukum itu selalu ada lubang-lubangnya, jangan sampai para penyelenggara keuangan ini memasuki lubang itu,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait