OJK Pertimbangkan Cabut Peraturan Capping Suku Bunga Deposito
Berita

OJK Pertimbangkan Cabut Peraturan Capping Suku Bunga Deposito

Akhir tahun ini peraturan tersebut akan dievaluasi oleh OJK.

Oleh:
ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
Otoritas Jasa Keuangan. Foto: RES
Otoritas Jasa Keuangan. Foto: RES
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkemungkinan mencabut peraturan batas maksimum (capping) suku bunga deposito Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III dan IV yang telah diterapkan OJK pada awal tahun guna menghentikan perang suku bunga bank-bank besar. Ada beberapa alasan peraturan ini dapat dicabut.

"Jika likuiditas perbankan dianggap memadai untuk mencegah terjadi kembalinya perang suku bunga, maka peraturan batas maksimum tersebut akan dicabut," kata Komisioner OJK Nelson Tampubolon, di Jakarta, Selasa (6/12).

Pada akhir tahun ini OJK akan mengevaluasi peraturan tersebut. "Akan kami evaluasi. Kalau likuiditas membaik karena repatriasi amnesti pajak, kami lepas ke (mekanisme) pasar saja," kata Nelson menjawab keputusan OJK mengenai pembatasan maksimum suku bunga deposito.

Nelson mengatakan, peluang dihapuskannya ketentuan batas maksimum bunga deposito semakin besar, karena likuiditas perbankan hingga awal Desember 2016 cukup memadai. Bahkan, menurut dia, dana repatriasi hingga awal Desember 2016 sudah mengalir deras ke produk perbankan yang akhirnya membuat perbankan leluasa dan tidak terlalu ambisius memburu dana simpanan.

"Data terakhir saya dengar sudah mendekati Rp100 triliun yang masuk ke perbankan, itu repatriasi," ujar dia. (Baca Juga: Amnesti Pajak Berlaku, Penting Menjaga Suku Bunga Deposito)

OJK pada Februari 2016 menerapkan kebijakan supervisi kepada industri perbankan khususnya kepada bank BUKU III dan IV, dengan membatasi suku bunga dana maksimal. Untuk Bank BUKU IV, OJK membatasi maksimal 100 basis poin di atas bunga acuan Bank Indonesia yang saat itu masih menggunakan instrumen Bank Indonesia Rate/BI Rate. Sedangkan, untuk Bank BUKU III ditetapkan maksimum 75 bps di atas BI Rate.

Kebijakan tersebut dilatarbelakangi fenomena perang suku bunga antarbank untuk memperoleh pendanaan di tengah ketatnya likuiditas karena arus dana keluar saat itu. Perang suku bunga bank-bank kelas "kakap" tersebut membuat biaya dana perbankan tidak terkendali yang akhirnya membuat suku bunga kredit meningkat dan bertengger di atas dua digit.

Ketika BI mengubah instrumen moneternya dari BI Rate menjadi "7-Day Reverse Repo Rate" yang bertenor tujuh hari dan memiliki tingkat bunga yang lebih rendah pada Agustus 2016, OJK tetap mempertahankan acuan batas maksimum suku bunga deposito ke BI Rate atau yang berganti nama menjadi suku bunga operasi moneter 12 bulan. (Baca Juga: OJK Klaim Implementasi Pembatasan Bunga Deposito Berjalan Efektif)

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Darmansyah Hadad mengatakan, likuiditas bank mulai membaik karena imbas aliran dana dari hasil program amnesti pajak. Selain likuiditas, perbaikan juga terlihat dari jumlah deposito, pertumbuhan kredit dan persentase non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah.

"Kita pantau setiap hari. Likuiditas membaik, deposito naik, kredit naik, NPL sudah membaik, dan dana pihak ketiga juga membaik," ujar Muliaman.

Dia menilai titik terendah lesunya industri perbankan pada bulan Mei di mana NPL mencapai 3,1 persen. Namun untuk saat ini Muliaman menyatakan rata-rata NPL perbankan sudah turun menjadi 3 persen. Dia berpendapat meningkatnya NPL perbankan diakibatkan oleh lesunya komoditas pertambangan yang mulai terjadi pada 2015. (Baca Juga: OJK Minta Perbankan Hentikan Perang Suku Bunga)

"Masalah mining, batubara itu kena di 2015. Banyak NPL terkait batu bara, banyak perusahaan yang mendukung batu bara itu kena semua," papar Muliaman.
Tags:

Berita Terkait