Ombudsman: Tingkat Kepatuhan Terhadap Aturan HET Minyak Goreng Rendah
Terbaru

Ombudsman: Tingkat Kepatuhan Terhadap Aturan HET Minyak Goreng Rendah

Melihat kondisi masih belum meratanya minyak goreng sesuai HET, Ombudsman mengimbau agar Kementerian Perdagangan dan Satgas Pangan bekerja lebih cepat.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Warga mengantre minyak goreng murah. Foto: RES
Warga mengantre minyak goreng murah. Foto: RES

Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik Ombudsman RI menemukan tingkat kepatuhan relatif rendah terhadap Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng di sejumlah pasar tradisional dan ritel tradisional. Hanya 12,82 % pasar tradisional dan 10,19% ritel tradisional yang memperdagangkan minyak goreng sesuai HET.

Data ini diperoleh berdasarkan pemantauan Ombudsman RI dari 311 sampel lokasi yang tersebar di 34 provinsi. Hal ini berbanding jauh dengan tingkat kepatuhan di pasar modern yang mencapai 69,85% dan ritel modern sebesar 57,14%.

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyampaikan, berdasarkan hasil pemantauan, harga minyak goreng sawit (MGS) kemasan premium di Pasar Tradisional diperjualbelikan dengan kisaran Rp 14.500 - 48.000 per liter. Harga tertinggi MGS kemasan premium di Pasar Tradisional ditemukan di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan dan NTB. (Baca: Polri Akan Tindak Tegas Pelaku Usaha Penimbun Minyak Goreng)

"Namun demikan, terdapat kasus di beberapa titik sampel yang menjual harga MGS kemasan premium sesuai HET di Pasar Tradisional, yaitu di Pasar Teluk Kering Kota Batam, Pasar Karang Anom Klaten Jawa Tengah, Pasar Mukti Harjo Kidul Kota Semarang dan di Pasar Hamadi Jayapura," papar Yeka dalam konferensi pers, Selasa (22/2) di Jakarta.

Yeka menambahkan, hasil pemantauan di Pasar Modern sebagian besar harga minyak goreng sawit sudah mengikuti HET yang ditetapkan pemerintah. Dalam pemantauan serentak ini, Ombudsman menemukan adanya praktik bundling yakni pembelian minyak goreng dengan disertai pembelian produk lain dari toko tersebut. Hal ini terjadi di Provinsi DIY dan Maluku Utara.

Selain itu, Ombudsman juga menemukan adanya pembatasan pasokan di sejumlah wilayah sehingga berdampak pada terbatasnya ketersediaan pasokan ritel, sebagaimana yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jambi, dan Kalimantan Tengah.

Di sisi lain, Ombudsman juga menemukan adanya praktik penyusupan  kuota minyak goreng dari agen distributor langsung menjual kepada pedagang ritel tradisional dan pasar tradisional dengan harga di atas HET. Hal ini terjadi pada sampel pemantauan di Provinsi Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara.

Melihat kondisi masih belum meratanya minyak goreng sesuai HET, Yeka menyampaikan imbauan agar Kementerian Perdagangan dan Satgas Pangan bekerja lebih cepat lagi. "Dengan melihat situasi yang ada, kami berharap Kemendag dan Satgas Pangan bekerja lebih cepat lagi, sehingga minyak goreng dengan harga terjangkau ini segera sampai ke seluruh masyarakat," ujarnya.

Dalam rangka mengumpulkan informasi terkait persoalan minyak goreng ini, Ombudsman RI mengundang sejumlah pemangku kepentingan untuk berdiskusi. Rencananya pada Jumat 25 Februari mendatang Ombudsman akan mengundang Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, untuk merespons apa saja dampak kebijakan HET minyak goreng ini terhadap para pengusaha kelapa sawit.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Guntur Syahputra Saragih dalam kesempatan yang sama menyampaikan, praktik bundling pembelian minyak goreng merupakan salah satu pelanggaran dalam persaingan usaha.

"Untuk itu, mohon nanti kami dapat berkolaborasi dan berbagi data dengan Kantor Perwakilan Ombudsman Provinsi DIY dan Maluku Utara, agar dapat segera ditindaklanjuti," ujarnya.

Dia mengatakan KPPU sangat terbuka dengan adanya kolaborasi dengan Ombudsman RI terkait persoalan kelangkaan minyak goreng HET ini.

Sebelumnya selain adanya dugaan pelanggaran atas UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, nyatanya KPPU juga melakukan analisis terhadap regulasi. Temuannya, terdapat beberapa regulasi yang dinilai menjadi pemicu dan berpotensi terjadinya polemik minyak goreng.

Pertama, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Berusaha Perkebunan yang mempengaruhi persaingan usaha di industri minyak goreng.

Kedua, Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No.46 Tahun 2019 tentang Pemberlakukan Standar Nasional Indonesia Minyak Goreng Sawit Secara Wajib. Dalam Permenperin tersebut mewajibkan SNI dan kandungan vitamin A dalam minyak goreng. Hal ini dinilai menjadi hambatan munculnya pelaku usaha baru, baik pelaku usaha lokal atau skala kecil dan menengah dalam indsutri minyak goreng.

Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan. Permendag ini mengatur bahwa minyak goreng dalam bentuk curah hanya boleh beredar di pasar sampai 31 Desember 2021 dan setelahnya harus dalam kemasan.

Tags:

Berita Terkait