Rentetan persoalan hukum yang menimpa maskapai plat merah Garuda Indonesia (GIAA) belakangan menyita banyak perhatian. Berbagai upaya penyelamatan diperbincangkan mulai dari suntikan ekuitas dari pemerintah, mendirikan maskapai nasional baru, likuidasi dan melepas kepemilikan kepada swasta hingga opsi PKPU. Siapa sangka? Maskapai kebanggaan yang masuk kategori The World’s 5-Star Airlines dari Skytrax itu terjerembab dalam masalah finansial, tumpukan utang dan kelumit persoalan hukum.
Sebut saja denda senilai 19 juta dolar Australia yang harus dibayarkan kepada Australia Competition and Consumer Commission (ACCC) dalam kasus penetapan harga (price fixing) fuel surcharge kargo. Berdasarkan perjanjian perdamaian antara GIAA dan ACCC yang disahkan Pengadilan Federal New South Wales, pembayaran denda dilakukan secara cicilan selama 5 tahun yang bahkan baru akan dimulai dibayarkan pada Desember 2021 mendatang (lihat: court order No. (P)NSD955/2009).
Hal ini semakin menarik bila GIAA jika dinyatakan pailit, apakah denda akan dikonversi menjadi utang dan ACCC masuk dalam jajaran kreditur? Atau apakah akan dianggap sebagai warisan utang negara mengingat BUMN juga tetap saja merupakan bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan?
Tak cuma itu, belakangan KPPU Republik Indonesia juga menjatuhkan denda senilai Rp1 miliar kepada GIAA atas kasus dugaan diskriminasi pemilihan mitra penjualan tiket umrah menuju dan dari Jeddah dan Madinah. Dalam kasus ini, GIAA dilaporkan melakukan upaya penutupan akses saluran distribusi penjualan langsung tiket umrah melalui program Wholesaler.