Organisasi Advokat di Tiga Negara Ini Anut Sistem Single Bar
Terbaru

Organisasi Advokat di Tiga Negara Ini Anut Sistem Single Bar

Alasan memperjuangkan agar organisasi advokat tetap single bar karena bukan untuk kepentingan para advokat semata, tetapi bagi para pencari keadilan.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit
Ketua Umum DPN PERADI Otto Hasibuan saat menyampaikan sambutannya dalam webinar internasional yang diselenggarakan Sabtu (30/10). Foto: Humas DPN PERADI
Ketua Umum DPN PERADI Otto Hasibuan saat menyampaikan sambutannya dalam webinar internasional yang diselenggarakan Sabtu (30/10). Foto: Humas DPN PERADI

Soal apakah organisasi advokat single bar atau multi bar masih menjadi perdebatan yang cukup hangat di dunia advokat. Apalagi Mahkamah Agung beberapa tahun lalu mengeluarkan Surat Keputusan Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 yang intinya Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah advokat dari organisasi manapun.

Ketua Umum DPN PERADI Otto Hasibuan menjelaskan sejumlah hal yang menjadi alasan mengapa single bar merupakan sistem terbaik untuk organisasi advokat. Pertama, menjaga kualitas dari profesionalitas para advokat itu sendiri. Menurut Otto dengan sistem single bar maka ada standarisasi yang terjaga dari para advokat ketika beracara nanti dan membela para klien.

Contoh dengan pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Sistem multi bar yang ada sekarang ini menimbulkan persaingan dari para organisasi advokat untuk merekrut calon advokat, salah satunya dengan mengadakan PKPA. Sayangnya ada perbedaan standarisasi PKPA dari sejumlah organisasi advokat yang dimaksud. Misalnya di organisasi A dengan nilai 5 maka ia sudah bisa lulus menjadi advokat, sementara untuk organisasi B para peserta diharuskan mendapat nilai 7 untuk lulus ujian.

“Karena seorang advokat harus punya kualifikasi yang tinggi punya pengetahuan yang baik agar melayani klien yang baik dan tidak ditelantarkan, jika kualitas advokat buruk akan merugikan pencari keadilan, tanpa ada standarisasi maka tidak akan terjaga mutu advokat itu kita ada organisasi advokat untuk mengontrol advokat. Itu alasan pertama kenapa single bar untuk menentukan standarisasi advokat yang baik,” ujar Otto dalam sambutan di acara seminar daring dengan tema “An International Comparison of Bar Entry Requirements and Conflicts Handling within Three Jurisdictions: California (USA), Australia dan the Netherlands”, Sabtu (30/10).

Alasan kedua yaitu dalam aspek pengawasan. Ada kewajiban dari setiap advokat untuk menjadi anggota dari organisasi advokat untuk menjalankan profesinya, alasannya karena bisa diawasi apabila ada pelanggaran kode etik. Menurut Otto hal ini menjadikan advokat bisa dikontrol dan tidak menjadi liar karena diawasi oleh Dewan Kehormatan organisasi.

Otto juga menjelaskan awal mula dirumuskannya Pasal 30 UU Advokat agar dalam menjalankan tugas yang mulia ini mereka bisa diawasi sehingga harus menjadi anggota organisasi advokat. “Banyak sekarang terjadi kalau advokat melanggar kode etik dipecat pindah ke tempat lain, lalu dipecat dan pindah lagi. Kemudian dia bilang saya bukan member dari organisasi apapun, bisa dibayangkan? Ke mana nanti pencari keadilan mengadu? Bisa kebal hukum dia nanti,” tegasnya.

Hukumonline memang pernah meminta konfirmasi kepada DPN PERADI perihal sanksi advokat yang terjerat kasus hukum. Anggota Komisi Pengawas DPN Peradi Victor Nadapdap menyatakan ada sejumlah trik yang dilakukan para advokat agar lolos dari hukuman kode etik. Misalnya apabila ia tersangkut kasus hukum dan berpotensi dipidana 4 tahun atau lebih biasanya mereka mengundurkan diri sebagai anggota Peradi sehingga tidak lagi terikat dan organisasi tentunya tidak mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi. “Dia tidak lagi anggota maka kita tidak bisa berhentikan karena kan sudah mengundurkan diri dari Peradi,” kata Viktor ketika itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait