Pahami Choice of Law dan Choice of Forum Saat Melakukan Transaksi Lintas Batas
Utama

Pahami Choice of Law dan Choice of Forum Saat Melakukan Transaksi Lintas Batas

Tidak semua layanan bisnis daring menggunakan hukum Indonesia. Jangan asal klik tombol ‘setuju’.

Hamalatul Qur’ani/MYS
Bacaan 2 Menit

Mayoritas platform digital yang menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia juga merujuk Hukum Indonesia sebagai pilihan hukum. Sebut saja Zilingo, JD.ID, Elevenia, Lazada, Zalora, Blibli.com, mataharimall dan tiket.com. Untuk Lazada dan mataharimall menyebutkan khusus penyelesaian sengketa dilakukan dibawah yurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sementara Zilingo, JD.ID, Elevenia, Zalora, Blibli.com dan Mataharimal tidak menentukan wilayah pengadilan secara spesifik, hanya menyebutkan sesuai yurisdiksi Pengadilan yang berwenang di Indonesia.

Hukumonline.com

Pandangan Ahli

Bila hukum yang dipilih platform bukanlah merujuk pada hukum Indonesia sementara aktivitas bisnis dilakukan di Indonesia, apakah hal ini dibenarkan secara hukum? Adakah batasan tertentu yang harus diperhatikan penyelenggara platform? Dosen Hukum Perdata FHUI, Abdul Salam mengatakan sah saja jika suatu platform menggunakan pilihan hukum negara lain. Pasal 18 ayat (2) dan (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 206) jelas memberi ruang kepada para pihak untuk memilih hukum yang berlaku atas transaksi elektronik internasional yang dibuatnya.

“Pasal itu memungkinkan adanya pilihan hukum dan pilihan forum, jadi para pihak secara sukarela boleh memilih untuk tunduk pada hukum negara mana dan menggunakan forum penyelesaian sengketa apa dan dimana,” jelasnya.

Hal senada, kata Abdul, juga diatur dalam Pasal 45 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di situ, penyelesaian sengketa konsumen memang dibenarkan untuk dilakukan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Cuma, pilihan forum penyelesaian sengketa yang dimaksudkan ini tidak menghilangkan tanggung jawab pidana para pihak sebagaimana diatur dalam UU. Kesimpulannya, tak ada larangan bagi pelaku usaha untuk memilih hukum negara mana dan mekanisme penyelesaian sengketa apa yang disepakati dalam kontrak. “Kalau ada pidananya, baru pengadilan Indonesia yang berwenang karena sudah masuk ke ranah hukum publik,” jelasnya.

Dijelaskan Abdul Salam, dalam hukum perlindungan konsumen dikenal sebuah doktrin let the buyer beware. Artinya, dalam suatu hubungan jual beli, konsumen/pembeli wajib untuk berhati-hati dalam setiap transaksi jual-beli yang dilakukan. Dalam konteks choice of law dan choice of forum, kewajiban konsumen untuk berhati-hati terletak pada kesadaran konsumen untuk membaca dan mempelajari segala implikasi ketentuan yang dimuat dalam terms & conditions suatu platform. Jadi, tak asal klik kursor setuju.

Termasuk pula mempertimbangkan jika pilihan hukum bukan hukum Indonesia atau jika penyelesaian sengketa di suatu platform diatur secara baku mesti dilakukan di luar negeri. Jika tidak sepakat, alasan tidak membaca terms & conditions tidak akan dapat diterima. Meskipun berupa klausula baku, secara tidak langsung konsumen sudah dinyatakan tunduk atas terms & conditions yang sudah dibuat pihak platform. (Baca: 5 Langkah Mitigasi Risiko Sebelum Dalilkan Force Majeure di Masa Covid-19)

“Pada prinsipnya terms & conditions itu tetaplah kontrak yang harus dipatuhi, walaupun itu merupakan klausula baku yang ditetapkan platform dan konsumen tidak menyadari. Itulah mengapa keberlakuan prinsip let the buyer beware itu pengaruhnya besar sekali,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait