Pahami Risiko-risiko Korupsi Terkait Bansos
Terbaru

Pahami Risiko-risiko Korupsi Terkait Bansos

KPK memetakan ada empat risiko potensi terjadinya korupsi bansos.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pemberian bantuan sosial Covid-19. Foto: RES
Ilustrasi pemberian bantuan sosial Covid-19. Foto: RES

Sejak wabah Covid-19 melanda Tanah Air, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan untuk meringankan beban masyarakat yang terdampak pandemi, salah satunya adalah pemberian bantuan sosial (bansos). Oleh sebab itu agar tidak terjadi penyelewengan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memetakan risiko-risiko korupsi yang dapat terjadi terkait dengan bansos.

Pertama, penerima bantuan fiktif (tidak ada). KPK melihat risiko korupsi jika data penerima bantuan tidak padan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

"Ini bisa jadi ganda karena tidak bisa secara cepat diidentifikasi siapa yang menerima dua (bantuan). Kalau nama kan ada M Nasir dengan Muh Nasir dengan Muhammad Nasir dengan Muhammad N itu bisa jadi empat orang tetapi kalau ada NIK-nya ketahuan dia hanya satu," kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan seperti dikutip dari Antara, Jumat (20/8).

Terkait hal tersebut, Kementerian Sosial (Kemensos) telah menjalankan rekomendasi KPK dengan baik untuk menggabungkan tiga basis data penerima bansos. (Baca: Jalan Terjal Penegakan Ganti Rugi Korban Korupsi Bansos)

"Oleh karena itu yang Bu Risma (Tri Rismaharini/Mensos) tunjukkan dari 193 juta (penerima) turun menjadi 155 juta hanya memastikan yang tidak ada NIK-nya. Jadi, kami bilang "ya sudah bu pede aja kalau tidak ada NIK-nya kemungkinan besar orangnya tidak ada". Jadi, sekarang dipastikan semua data harus ada NIK-nya. Kalau buat saya secara awam bilang kalau ada NIK-nya berarti manusianya ada di Indonesia paling tidak pernah tercatat di Indonesia," tuturnya.

Kedua, tidak diperbaruinya data penerima bansos. “Tahun ini ada NIK-nya benar tetapi kan orangnya bisa meninggal, bisa cerai, bisa pindah masuk pindah keluar. Kalau yang meninggal sama lahir saya dapat bocoran dari Pak Zudan (Zudan Arif Fakrulloh/Dirjen Dukcapil Kemendagri) setahun aja sudah tiga juta (orang) belum yang pindah mungkin sekitar 10 juta," ucap dia.

Akibat NIK tidak diperbarui tersebut, kata dia, maka bantuan menjadi salah sasaran. "Karena NIK-nya tidak di-update bantuannya datang orangnya tidak ada, dibilang lah bantuan salah sasaran, masa dikasih sama orang yang tidak ada karena tidak di-"update" datanya. Itu yang kami bilang DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) tidak boleh statik dia harus dinamis karena updating-nya kan terjadi terus," ungkap Pahala.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait