Pakar Hukum Sebut Sistem Kamar Mahkamah Agung Masih Bermasalah
Utama

Pakar Hukum Sebut Sistem Kamar Mahkamah Agung Masih Bermasalah

Ada kritik atas rumusan pertimbangan hukum pada putusan hingga tingkat Mahkamah Agung. Muncul dilema kualitas putusan dan tuntutan produktivitas penanganan perkara.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Anggota Tim Asistensi Pembaruan MA Dian Rositawati saat pemaparan diskusi panel bertajuk 'New Legal Mechanism to Protect Legal Unity', Rabu (28/9/2022). Foto: NEE
Anggota Tim Asistensi Pembaruan MA Dian Rositawati saat pemaparan diskusi panel bertajuk 'New Legal Mechanism to Protect Legal Unity', Rabu (28/9/2022). Foto: NEE

Dian Rositawati, anggota Tim Asistensi Pembaruan Mahkamah Agung mengakui masih ada masalah dari sistem kamar Mahkamah Agung (MA). Hal itu disampaikan dalam panel seminar bertema “New Legal Mechanism to Protect Legal Unity”. “Ada dilema antara pencapaian produktivitas dan kualitas putusan pada MA,” kata perempuan yang biasa disapa Tita ini.

Perlu diingat bahwa Sistem Kamar baru diterapkan di Mahkamah Agung sejak tahun 2011 dengan berbagai pengembangan. Pembagian tugas Hakim Agung dikanalisasi dalam kamar sesuai spesialiasi dan latar belakang. Sistem ini adalah solusi yang dipilih untuk menguatkan fungsi kasasi di Mahkamah Agung sebagai penjaga kesatuan hukum.

Suhadi, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, menjelaskan di forum seminar yang sama bahwa sistem yang digunakan sebelum tahun 2011 adalah sistem tim. Ada 12 tim yang masing-masing dipimpin mulai dari Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua, dan jajaran Ketua Muda. Sistem ini lalu dinilai tidak efektif dan efisien, sehingga beralih ke sistem kamar.

Baca juga:

Penggunaan sistem kamar sejak tahun 2011 ternyata menghasilkan laporan produktivitas yang tinggi. “Perbandingan produktivitas dari tahun 2017 sampai tahun 2021 terlihat tinggi. Luar biasa. Namun, beban kerjanya hampir tidak masuk akal,” kata Tita. Ia menyoroti jumlah hakim agung di kisaran 48 hingga 50 orang, tetapi mampu membuat putusan kasasi sejumlah 16.000 hingga 20.000-an per tahun. Jumlah putusan itu hampir sama dengan jumlah rata-rata perkara yang masuk ke Mahkamah Agung tiap tahun.

Meski terlihat sebagai prestasi, Tita mengatakan tingkat kepercayaan publik dan kepuasan kualitas dan konsistensi putusan masih lemah. Ia mengakui ada kritik atas rumusan pertimbangan hukum pada putusan hingga tingkat Mahkamah Agung. Putusan yang dihasilkan ternyata minim atau belum komprehensif pada penalaran hukum di bagian pertimbangan.

“Pada titik ini menjadi pertanyaan besar. Bagaimana meningkatkan kualitas putusan Mahkamah Agung bersamaan dengan tuntutan produktivitas yang tinggi? Ini masih terus jadi dilema,” kata Tita. Ia melihat dilema ini terjadi karena sistem kamar menjadi satu-satunya tumpuan menjaga kesatuan hukum. Padahal, optimalisasi peran peradilan di bawah Mahkamah Agung juga perlu ditingkatkan.

Tags:

Berita Terkait