Pandangan 3 Dosen Hukum Pidana Terkait Polemik Donasi Keluarga Akidi Tio
Utama

Pandangan 3 Dosen Hukum Pidana Terkait Polemik Donasi Keluarga Akidi Tio

Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 bisa diterapkan, tetapi kasus donasi/sumbangan sebesar Rp2 triliun ini dinilai belum memenuhi unsur "dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat". Para pakar hukum terbelah memandang unsur “dapat menerbitkan keonaran” yakni sebagai delik formil dan delik materil.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit

Lalu, apakah Heryanti atau keluarga Akidi Tio bisa dijerat pidana penyebaran berita bohong atau penipuan bila sumbangan dana hibah sebesar Rp2 triliun itu benar-benar tidak bisa dicairkan, tidak bisa dicairkan secara penuh, atau bahkan keluarga Akidi Tio mengurungkan niatnya untuk menyumbang?

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Eva Achjani Zulfa menilai penerapan Pasal 15 dan Pasal 16 UU No.1 Tahun 1946 dalam kasus ini rasanya tidak mungkin. Sebab, Pasal 15 pada dasarnya tentang penyebaran kabar bohong yang dapat menerbitkan keonaran dalam masyarakat. “Sehingga tidak hanya berhenti pada penyebaran kabar bohong saja, tapi dapat menimbulkan keonaran dalam hal ini berkaitan dengan ini berita yang isinya bersifat menghasut,” kata Eva saat dihubungi Hukumonline.

Dalam kasus donasi oleh keluarga Akidi Tio ini, Eva tidak melihat adanya unsur pasal itu karena bisa jadi isinya semata-mata kebohongan atas adanya sumbangan. Pasal 378 KUHP tentang penipuan pun tidak bisa diterapkan. “Karena Pasal 378 KUHP mensyaratkan adanya tujuan menipu adalah agar orang tergerak menyerahkan sesuatu, menghapus piutang atau menimbulkan hutang. Jadi bukan penipuan dalam bahasa harfiah,” katanya.

Berpeluang diterapkan

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Mahmud Mulyadi menilai ada peluang bagi aparat penegak hukum menerapkan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946. Unsur obyektif perbuatan menurut UU 1/1946 yaitu (a) menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong (Pasal 14 ayat 1); (b) menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat (Pasal 14 ayat 2); dan (c) menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap (Pasal 15).

“Dari ketiga bentuk delik itu, saya berpendapat jika perbuatan Heriyanti dalam memberikan sumbangan Rp2 triliun tersebut adalah tidak benar atau bohong, maka aparat berpeluang dan lebih mudah untuk menerapkan Pasal 14 ayat (1) atau Pasal 15 UU No. 1946,” ujar Mahmud Mulyadi.  

Dia beralasan Pasal 14 ayat (1) atau Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tergolong dalam delik formil, bukan delik materiil. Delik formil adalah suatu delik yang mensyaratkan vooltoit (sempurna) suatu tindak pidana dengan cukup telah ada dan terbukti perbuatannya saja, tanpa harus membuktikan adanya akibat dari perbuatan tersebut. Tapi, muncul persoalan sehubungan dengan unsur “dapat menerbitkan keonaran”, para pakar hukum pidana terbelah menjadi dua pendapat soal kata “dapat”, ada yang mengkategorikan sebagai delik formil dan ada juga yang mengkategorikan delik materil.

Untuk itu, dia menyarankan pada kasus ini sebaiknya aparat meminta keterangan ahli dari ahli bahasa Indonesia untuk membantu apakah perbuatan Heriyanti tersebut sudah terkategori perbuatan “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” atau “menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap?”

Tags:

Berita Terkait