Pandangan 3 Pakar Hukum Terkait Penerapan UU ITE
Utama

Pandangan 3 Pakar Hukum Terkait Penerapan UU ITE

Penerapan Pasal 27, 28 dan 29 UU ITE dinilai multitafsir, bersifat karet, dan tidak memenuhi salah satu syarat asas legalitas yakni nullum crimen, nulla poena sine lege certa. Sebelum pasal-pasal itu direvisi atau diubah, penerapan UU ITE perlu dilonggarkan agar tidak terlalu bersifat memaksa (dwingend recht).

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Diskusi Publik UU ITE: Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, RKUHP'secara daring, Kamis (19/3/2021). Foto: RFQ
Diskusi Publik UU ITE: Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, RKUHP'secara daring, Kamis (19/3/2021). Foto: RFQ

Sejumlah rumusan norma dalam UU No.19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) cenderung dominan bersifat dwingend recht atau memaksa. Padahal, sejak awal pembentukan UU ITE hanya bersifat mengatur. Akibatnya, penegakan hukum terkait UU ITE ini mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Untuk itu, diperlukan pelonggaran atau relaksasi dalam penerapannya.

“Perlu ada relaksasi, pengendoran unsur-unsur yang bersifat dwingend recht,” ujar mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2001-2008, Prof Bagir Manan dalam “Diskusi Publik UU ITE: Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, RKUHP” secara daring di Yogyakarta, Kamis (18/3/2021). (Baca Juga: Wamenkumham: Pemerintah Bersungguh-sungguh Mau Merevisi UU ITE)

Acara diskusi ini salah satu upaya pemerintah menyerap aspirasi dari berbagai elemen masyarakat terkait perlu atau tidaknya merevisi UU ITE. Kegiatan ini tindak lanjut permintaan Presiden Joko Widodo soal pentingnya merevisi UU ITE bila diperlukan, mengingat penerapannya terlampau represif terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Prof Bagir menyampaikan sejumlah catatan terkait penerapan UU ITE ini. Pertama, secara eksplisit UU ITE bertujuan mengatur bagaimana semestinya transaksi elektronik atau informasi elektronik dijalankan. Dari perspektif hukum, aturan ini bersifat peraturan yang mengatur. Tapi, faktanya 50 persen ketentuan dalam UU ITE justru mengatur hal-hal yang sifatnya memaksa. Tentu saja kaitannya dengan hukum pidana, seperti termuat dalam Pasal 27, Pasal 28 UU ITE.  

“Jadi ini anomali bagi saya. Antara yang ingin dicita-citakan hukumnya dengan norma-normanya kok tidak berjalan konsisten,” kata Bagir.

Kedua, UU 19/2016 memuat sifat hukum yang berbeda antara mengatur dan memaksa. Bahkan cenderung dominan bersifat dwingen recht. Akibatnya, aparat penegak hukum cenderung menerapkan aturan yang sifatnya memaksa ini. Penerapannya tak berkaitan dengan pengelolaan dan mengatur. Baginya dari sisi struktur telah menjadi anomali. Sekalipun UU ITE masih diperlukan, maka pengaturannya pun harus jelas.

Ketiga, ketentuan-ketentuan dalam UU ITE sebagian terdapat dalam KUHP. Prof Bagir teringat dengan sejarah kolonial berkaitan dengan haatzaai artikelen atau pasal-pasal kebencian atau permusuhan dalam KUHP. Di era kemerdekaan masyarakat Indonesia kala itu menentang penerapan haatzaai artikelen. Selain bersifat kolonial, pasal-pasal tersebut bersifat karet, khususnya pasal pencemaran nama baik.

“Di masa kolonial dijadikan alat oleh pemerintah Belanda dan menjadi pasal karet,” ujarnya.

Keempat, menjadi janggal aparat penegak hukum menjadi “galak” terhadap masyarakat sipil menggunakan pasal-pasal di era kolonial Belanda yang malah tidak digunakan. Prof Bagir mengaku tak habis pikir dengan perumus UU dan aparat penegak hukum saat ini dalam menerapkan UU ITE.

“Jadi ini aneh. Bahkan ancaman pidananya luar biasa. Sampai dalam UU ITE ada ancaman 12 tahun dengan dan/atau denda Rp12 miliar, alangkah hebatnya di Indonesia merdeka ada ancaman pidana sebesasr itu. UU ITE itu menjadi represif,” kritiknya.

Terhadap berbagai alasan itulah, perlu relaksasi (pelonggaran) penerapan UU ITE sambil menunggu hasil keputusan Tim Kajian revisi UU ITE. Namun Prof Bagir menyayangkan Tim Kajian tak melibatkan ahli ataupun elemen masyarakat sipil. Meski masih menyangsikan jadi tidaknya revisi UU ITE, Prof Bagir masih optimis. Diharapkan UU ITE dapat masuk Prolegnas Prioritas 2022, kecuali ada gerakan khusus.

“Jadi artinya, kita masih harus menunggu. Dan selama menunggu, UU ITE masih berlaku, karenanya perlu pengendoran penerapan UU ITE,” katanya.

Tak memenuhi asas legalitas

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Oemar Sharif Hiariej mengatakan maksud pembentukan UU 11/2008 kala itu hanya mencakup dua hal yakni internet atau komputer atau jaringan digunakan dalam menyimpan data dan kejahatan digunakan menggunakan sistem jaringan. Menurutnya, awalnya pembentuk UU ITE merumuskan soal cyber crime dalam arti sempit.

“Tapi entah mengapa dalam pembahasan di DPR ada pemikiran bagaimana pemerasan, penghinaan, pencurian dilakukan melalui internet,” ujarnya.

Karena itulah masuk Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29, serta pasal lainnya. Dia membenarkan pandangan banyak pihak bahwa tentang multitafsirnya sejumlah pasal dalam UU ITE. Sebabnya, kata Prof Eddy begitu biasa disapa, Pasal 27, 28 dan 29 tidak memenuhi salah satu syarat asas legalitas yakni nullum crimen, nulla poena sine lege certa. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. “Apakah Pasal 27, 28 dan 29 itu jelas? Tidak jelas,” jawabnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu menerangkan penjelasan Pasal 27 sampai 29 tertulis “cukup jelas” dalam UU 11/2008, lalu diperbaharui dengan UU 19/2016. Nah pembaharuan UU ITE itulah yang dianggap menjadi penyebab penegakan hukum menjadi represif. “Pembaharuan UU ITE yang menyebabkan penegakan hukum tambah runyam,” imbuhnya.

Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir berpendapat eksistensi pasal penghinaan dalam UU ITE terbukti tidak memenuhi perumusan norma hukum yang baik dan tidak menjamin kepastian hukum serta sanksi pidananya terlampau berat. Karena itu, dia mendorong agar Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 serta pasal lainnya yang berkaitan dengan tiga pasal itu agar dihapus dan dinyatakan tidak berlaku.

Tapi, bila terpaksa sejumlah pasal-pasal itu mau dipertahankan dalam UU ITE, mesti diubah yang mengatur pemberatan sanksi pidananya dengan kriteria tertentu. Sedangkan norma hukum pidananya agar tetap berada dalam KUHP atau UU lain di luar KUHP dengan prinsip tetap menjamin kepastian hukum dan keadilan. “Biarlah KUHP yang berbicara. Meskipun KUHP, menurut saya sudah cukup,” katanya.

Tags:

Berita Terkait