Pandangan 3 Pakar Hukum Terkait Penerapan UU ITE
Utama

Pandangan 3 Pakar Hukum Terkait Penerapan UU ITE

Penerapan Pasal 27, 28 dan 29 UU ITE dinilai multitafsir, bersifat karet, dan tidak memenuhi salah satu syarat asas legalitas yakni nullum crimen, nulla poena sine lege certa. Sebelum pasal-pasal itu direvisi atau diubah, penerapan UU ITE perlu dilonggarkan agar tidak terlalu bersifat memaksa (dwingend recht).

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

“Di masa kolonial dijadikan alat oleh pemerintah Belanda dan menjadi pasal karet,” ujarnya.

Keempat, menjadi janggal aparat penegak hukum menjadi “galak” terhadap masyarakat sipil menggunakan pasal-pasal di era kolonial Belanda yang malah tidak digunakan. Prof Bagir mengaku tak habis pikir dengan perumus UU dan aparat penegak hukum saat ini dalam menerapkan UU ITE.

“Jadi ini aneh. Bahkan ancaman pidananya luar biasa. Sampai dalam UU ITE ada ancaman 12 tahun dengan dan/atau denda Rp12 miliar, alangkah hebatnya di Indonesia merdeka ada ancaman pidana sebesasr itu. UU ITE itu menjadi represif,” kritiknya.

Terhadap berbagai alasan itulah, perlu relaksasi (pelonggaran) penerapan UU ITE sambil menunggu hasil keputusan Tim Kajian revisi UU ITE. Namun Prof Bagir menyayangkan Tim Kajian tak melibatkan ahli ataupun elemen masyarakat sipil. Meski masih menyangsikan jadi tidaknya revisi UU ITE, Prof Bagir masih optimis. Diharapkan UU ITE dapat masuk Prolegnas Prioritas 2022, kecuali ada gerakan khusus.

“Jadi artinya, kita masih harus menunggu. Dan selama menunggu, UU ITE masih berlaku, karenanya perlu pengendoran penerapan UU ITE,” katanya.

Tak memenuhi asas legalitas

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Oemar Sharif Hiariej mengatakan maksud pembentukan UU 11/2008 kala itu hanya mencakup dua hal yakni internet atau komputer atau jaringan digunakan dalam menyimpan data dan kejahatan digunakan menggunakan sistem jaringan. Menurutnya, awalnya pembentuk UU ITE merumuskan soal cyber crime dalam arti sempit.

“Tapi entah mengapa dalam pembahasan di DPR ada pemikiran bagaimana pemerasan, penghinaan, pencurian dilakukan melalui internet,” ujarnya.

Karena itulah masuk Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29, serta pasal lainnya. Dia membenarkan pandangan banyak pihak bahwa tentang multitafsirnya sejumlah pasal dalam UU ITE. Sebabnya, kata Prof Eddy begitu biasa disapa, Pasal 27, 28 dan 29 tidak memenuhi salah satu syarat asas legalitas yakni nullum crimen, nulla poena sine lege certa. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. “Apakah Pasal 27, 28 dan 29 itu jelas? Tidak jelas,” jawabnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu menerangkan penjelasan Pasal 27 sampai 29 tertulis “cukup jelas” dalam UU 11/2008, lalu diperbaharui dengan UU 19/2016. Nah pembaharuan UU ITE itulah yang dianggap menjadi penyebab penegakan hukum menjadi represif. “Pembaharuan UU ITE yang menyebabkan penegakan hukum tambah runyam,” imbuhnya.

Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir berpendapat eksistensi pasal penghinaan dalam UU ITE terbukti tidak memenuhi perumusan norma hukum yang baik dan tidak menjamin kepastian hukum serta sanksi pidananya terlampau berat. Karena itu, dia mendorong agar Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 serta pasal lainnya yang berkaitan dengan tiga pasal itu agar dihapus dan dinyatakan tidak berlaku.

Tapi, bila terpaksa sejumlah pasal-pasal itu mau dipertahankan dalam UU ITE, mesti diubah yang mengatur pemberatan sanksi pidananya dengan kriteria tertentu. Sedangkan norma hukum pidananya agar tetap berada dalam KUHP atau UU lain di luar KUHP dengan prinsip tetap menjamin kepastian hukum dan keadilan. “Biarlah KUHP yang berbicara. Meskipun KUHP, menurut saya sudah cukup,” katanya.

Tags:

Berita Terkait