Pandangan Akademisi Hukum Soal Perintah Pembentukan Peraturan Delegasi
Terbaru

Pandangan Akademisi Hukum Soal Perintah Pembentukan Peraturan Delegasi

Dalam kurun waktu tahun 1999-2012 terdapat 470-an UU yang lebih dari 50 persennya mendelegasikan kewenangannya pada peraturan delegasi, sisanya tidak.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Pandangan Akademisi Hukum Soal Perintah Pembentukan Peraturan Delegasi
Hukumonline

Peraturan delegasi dari UU, seperti peraturan pemerintah, peraturan Menteri dan lainnya menjadi sebuah kebutuhan yang penting agar UU yang dibentuk dapat berjalan dengan baik. Untuk memastikan peraturan delegasi itu dapat mendukung pelaksanaan UU lebih baik. Dan, UU yang tidak memberikan perintah peraturan delegasi biasanya ialah UU yang isinya sistem saja seperti UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan.

Hal ini diungkapkan oleh Dosen Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Fitriani A. Sjarif dalam disertasinya yang didiskusikan dalam Seri Diskusi Disertasi bertajuk “Pembentukan Peraturan Delegasi dari Undang-Undang Pada Kurun Waktu Tahun 1999-2012,” yang diselenggarakan oleh Kolegium Jurist Institute, pada Jumat (6/8).

Dalam penelitiannya, Fitriani mengambil potret tahun 1999-2012, yakni saat masa reformasi yang sedang mencoba menata peraturan perundang-undangan. Disertasi diawali dengan melihat peraturan delegasi dari peraturan perundang-undangan dari sisi konsitusi. Kemudian berlanjut dari founding father pembentuk UU dari awal sampai proses terbentuknya sebuah peraturan. Hal ini memicu kegelisahan Fitriani yang melihat dalam pembuatan UU memilih peraturan delegasinya berdasarkan kesukaan pembentuk UU atau pilihannya paling dianggap mudah oleh perancang pembentuk UU tersebut.

Ia menjelaskan UU dalam sebuah negara hukum, adalah produk hukum legislatif yang memiliki ciri khas dalam pembentukannya, karena harus melewati proses persetujuan rakyat melalui parlemen. Dalam konsep pemisahan kekuasaan dalam negara bahwa hanya lembaga legislatif yang memegang kekuasaan legislasi atau pembentuk UU, maka cabang
kekuasaan lainnya dilarang untuk memegang kekuasaan membentuk UU. Legislatif dianggap sebagai pemegang penuh kewenangan pembentukan UU. Penggunaan konsep demikian, menyebabkan adanya pemahaman dilarangnya lembaga eksekutif untuk membentuk peraturan perundang-undangan.

“Pada faktanya, hampir semua negara hukum saat ini memerlukan adanya peraturan delegasi dari Undang-Undang yang pengaturannya memang dikenal hanya umum dan prinsip saja. Sehingga pada praktiknya saat ini, setiap Undang-Undang, yaitu produk yang dibentuk legislatif memerlukan peraturan pelaksanaan yang akan menjelaskan teknis pengaturan lebih lanjut,” ujarnya.

Contohnya, sebut Fitriani, Amerika Serikat yang dengan menyatakan penggunaan sistem pemisahan kekuasaan, dan menempatkan legislatif sebagai satu-satunya lembaga pembentuk Undang-Undang, akhirnya pun mengizinkan adanya pembentukan peraturan delegasi dari Undang-Undang. Alasannya karena tuntutan kebutuhan praktis dalam pemerintahan.

Ia mengutip pendapat Hamid S. Attamimi, bahwa kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan pada awalnya memang dipegang oleh kepala pemerintahan, yaitu Presiden. Namun untuk materi muatan yang khas, yaitu UU, Presiden diberikan kewenangan bersama-sama dengan DPR. Presiden sebagai pemegang kewenangan pembentukan perundang-undangan yang awal, maka Presiden memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan lain, sebagai kewenangan sisa pembentukan UU dan kewenangan pembentukan peraturan delegasi dari UU.

Tags:

Berita Terkait