Pandangan DPR-Pemerintah Terkait Perkawinan Beda Agama
Utama

Pandangan DPR-Pemerintah Terkait Perkawinan Beda Agama

Untuk itu, tidak mungkin di negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945 atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan, setiap orang dapat sebebas-bebasnya melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi sidang pleno MK.
Ilustrasi sidang pleno MK.

Penentu syarat sahnya perkawinan ditentukan oleh agama dari masing‑masing pasangan calon mempelai. Setelah itu, dilakukan pencatatan perkawinan oleh negara sebagai kewajiban administrasi. Hal ini disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pleno perkara pengujian UU yang diajukan oleh E. Ramos Petege.

Arsul menyampaikan keterangan DPR RI menanggapi permohonan pengujian materil Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara bertujuan agar perkawinan yang tergolong perbuatan hukum penting dalam kehidupan setiap warga negara dan berimplikasi pada adanya akibat hukum di kemudian hari,” kata Asrul dalam risalah persidangan di MK, Senin (6/6/2022) seperti dikutip dari laman MK.

Ia melanjutkan perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan tersebut menjadi penting untuk dilindungi oleh negara. “Telah jelas ketentuan ini menekankan penghormatan terhadap ajaran agama dan kepercayaan setiap warga negara yang dijadikan sebagai syarat sah dari perkawinan tanpa ada diskriminasi,” kata Arsul.

Baca Juga:

DPR menanggapi tentang dalil Pemohon yang pada intinya menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan merupakan bentuk pemaksaan agama oleh negara kepada warga negara yang seharusnya dimaknai sebagai pilihan bagi calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama.

Sesuai risalah rapat pembahasan undang‑undang, Arsul mengatakan pembuat undang-undang menormakan praktik perkawinan yang dilakukan setiap pemeluk agama memadukan unsur perkawinan menurut tata cara agama atau disebut dengan istilah religious marriage dan unsur perkawinan menurut tata cara sipil yakni perkawinan yang dilakukan, dicatat, dan diakui oleh pejabat pemerintah atau disebut dengan istilah civil marriage.

Tags:

Berita Terkait