Pandangan Dua Ahli tentang Pengaturan Berita Bohong
Berita

Pandangan Dua Ahli tentang Pengaturan Berita Bohong

Pendekatan hukum semata tak akan menyelesaikan persoalan.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penyebaran berita hoaks. Ilustrator: BAS
Ilustrasi penyebaran berita hoaks. Ilustrator: BAS

Kemajuan teknologi yang melanda dunia hari-hari ini sedikit banyak meninggalkan residu. Di luar manfaatnya bagi manusia yang begitu besar terasa, penyalahgunaan teknologi seakan menjadi satu tarikan nafas dengan sejumlah efek positif yang hadir sebagaimana tujuan teknologi diciptakan. Salah satu persoalan yang menjadi perhatian dan tengah dicarikan formulasinya adalah menghadapi berita bohong yang sangat marak beredar di platform online.

 

Meskipun bukan merupakan hal baru, karena berita bohong sebenarnya sudah ada jauh hari sebelum era internet dimulai. Orang dulu mengenal istilah surat kaleng sebagai sarana menyebar berita bohong. Bahkan kisah keruntuhan kota Troya oleh serangan Achiles menggunakan taktik tipu lewat instrumen kuda-kudaan yang disusupkan ke dalam kota. Kuda itu yang kini mashur dikenal dengan istilah Kuda Troya.

 

Dalam rangka merespon kencangnya penyebaran berita bohong di era ini, banyak pihak menaruh konsentrasi yang cukup serius. Guru Besar hukum siber dari Universitas Malaya, Malaysia, Abubakar Munir bahkan menyebutkan bahwa penyebaran berita bohong melalui instrumen media online tidak hanya merusak kehidupan demokrasi suatu negara, tapi lebih jauh menjadi penyebab runtuhnya tatanan sebuah negara bangsa.

 

“Di negara Eropa, fakenews bahkan dianalogikan sebagai wirefire (kawat api yang meluluhlantahkan),” ujar Abubakar saat menjadi pembicara dalam sebuah kuliah tentang cara menghadapi berita bohong, Selasa (13/3) di Kampus Universitas Atmajaya, Jakarta.

 

(Baca juga: Akurasi Konten Berita Jadi Tantangan Media Siber)

 

Untuk itu tidak ada acara lain yang bisa digunakan untuk merespon fenomena penyebaran berita bohong di media online selain dengan mengaturnya secara tegas melalui regulasi ataupun legislasi. Setidaknya, menurut Abubakar, ini menjadi penting mengingat dampak yang ditimbulkan penyebaran berita bohong sangat serius.

 

Akademisi Malaysia itu mengakui salah satu persoalan di Indonesia adalah banyaknya peraturan yang saling tumpang tindih. Namun dengan menambah satu saja undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang mekanisme menghadapi berita bohong bukanlah tindakan yang salah mengingat dampak yang ditimbulkan. “Saya pikir yang paling penting do nothing is not option,” ujar Abubakar.

 

Menurut Abubakar, banyak negara yang mulai mengatur terkait mekanisme penanganan terhadap berita bohong. Terakhir, negara yang baru saja mengesahkan undang-undang yang mengatur berita bohong adalah Rusia, pada 8 Maret 2019. Di wilayah Asia Tenggara, negara yang sudah mengaturnya adalah Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Tags:

Berita Terkait