Pandangan Guru Besar FH Undip Soal Sifat Keadilan dalam Restorative Justice
Terbaru

Pandangan Guru Besar FH Undip Soal Sifat Keadilan dalam Restorative Justice

Prof Pujiyono menerangkan dalam berjalannya proses keadilan restoratif, keadilan yang terjadi antara lain adalah keadilan yang bersifat otonom, keadilan yang bersifat autentik dan keadilan substansial.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof Pujiyono. Foto: FKF
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof Pujiyono. Foto: FKF

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof Pujiyono menilai konsep keadilan restoratif atau restorative justice (RJ) dimaknai sebagai mempererat kembali antara pelaku, korban, dan masyarakat dalam kondisi yang damai, tenteram tanpa sengketa apapun akibat terjadinya tindak pidana.

“Satu hal yang perlu kemudian kita pahami adalah ketika proses itu (keadilan restoratif) berjalan, keadilan yang terjadi adalah keadilan yang bersifat otonom, keadilan yang bersifat autentik, dan substansial,” ujar Prof Pujiyono pada pemaparannya di Seminar Nasional bertajuk “Konsolidasi Keadilan Restoratif di Indonesia”, Selasa (19/7/2022).

Ia menjelaskan keadilan yang otonom dikarenakan dalam RJ, penyelesaian kasus merupakan win-win solution atas dasar pendekatan hati ke hati. Para pihak menyatu dalam suatu penyelesaian konflik dengan memberikan tanggung jawab dan mengupayakan adanya perbaikan segala akibat dari perbuatan pidana yang dilakukan.

Baca Juga:

Kedua, keadilan bersifat autentik sebab RJ merupakan hasil yang keluar dari hati nurani masing-masing pihak yang kemudian terjadi kesepakatan. Ketiga, dalam RJ juga mencerminkan adanya keadilan yang substantif yang diartikan sebagai keadilan yang tidak prosedural atau dengan kata lain keadilan yang tidak direkayasa.

“Menjadi pertanyaan kemudian ketika kita mencoba untuk memformat pola penyelesaian restorative justice yang seperti itu dalam sistem peradilan pidana yang dalam kaitan ini saya hubungkan dengan kewenangan Jaksa untuk tidak melakukan penuntutan. Pertanyaannya ketika sudah ada 1.343 kasus yang dihentikan melalui permohonan, dimana letak autentik dari keadilan itu?”

Menurutnya, berbeda dengan sifat keadilan otonom yang mungkin masih bisa dalam konteks para pihak difasilitasi oleh aparat penegak hukum untuk saling bertemu. Ia mengkritisi hapusnya kewenangan menuntut atau tidak yang tentunya adalah demi hukum. Apabila esensi penyelesaian di luar pengadilan melalui restorative justice menjadi alasan hapusnya kewenangan menuntut yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti di RKUHP Tahun 2019, bagi Pujiyono hal ini perlu menjadi wacana bersama.

“Pertanyaannya bagaimana kalau sudah difasilitasi aparat penegak hukum untuk adanya satu musyawarah, tetapi tidak jadi kesepakatan. Apakah itu bisa oleh penegak hukum dalam hal ini Kejaksaaan dilakukan istilahnya, bukan penghentian, tapi tidak dilakukan penuntutan? Saya melihat dalam konteks RKUHP dan PERJA semestinya itu tidak dilakukan penuntutan demi hukum, karena itu salah satu alasan hapusnya kewenangan menuntut.”

Dia menyoroti pernyataan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana yang sempat membeberkan mengenai aparat penegak hukum yang alih-alih memiliki semangat untuk ‘bagaimana mengembalikan keadaan seperti semula’ malah menjadi semangat ‘untuk menghentikan perkara’ saat satu bulan pertama RJ diusung oleh Kejaksaan.

“Ini kemudian perlu kita tinjau ulang, jangan sampai semangat restorative justice ini mendistorsi penegakan hukum itu sendiri. Bagaimanapun juga dari case per case harus dilihat secara substansial, dan proses musyawarah dalam restorative justice itu harus betul-betul dilakukan. Kemudian akan terjadi yang namanya keadilan yang menurut saya tadi keadilan otonom, substantif, dan autentik.”

Tags:

Berita Terkait