Pansel OJK dalam Pusaran Benturan Kepentingan
Kolom

Pansel OJK dalam Pusaran Benturan Kepentingan

Kepercayaan masyarakat mesti dijaga oleh Pemerintah sejak dari proses awal. Jangan sampai hanya karena Pansel setitik, rusak OJK sebelanga.

Bacaan 5 Menit
Beni Kurnia Illahi. Foto: Istimewa
Beni Kurnia Illahi. Foto: Istimewa

Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem tata kelola keuangan (finance governance) di Indonesia memberikan energi positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan. Hal ini ditujukan agar lembaga sektor keuangan tumbuh menjadi sektor jasa yang profesional dan berorientasi melayani dan melindungi masyarakat sebagai pengguna jasa keuangan secara lebih baik.

OJK sebagai lembaga negara independen diamanatkan oleh UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Independensi OJK itu tidak hanya dimaknai dalam kerangka institusi saja (independent organizational), namun juga meliputi semua fungsi yang dijalankan (independent functional).

Independensi OJK akan sepenuhnya efektif, bila prinsip Good Corporate Governance dijadikan prinsip utama dalam mengawasi segala bentuk jasa keuangan di republik ini. Hal itu dapat tercermin dari pola dan tahapan seleksi pimpinan Dewan Komisioner OJK yang transparan dan berkualitas. artinya, proses pengisian calon dewan komisioner OJK pun harus dipastikan terbebas dari intervensi dan segala potensi benturan kepentingan apapun.

Sebab, lahirnya OJK sebagai amanat Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia didasari akan prinsip-prinsip reformasi keuangan, yaitu independensi, terintegrasi dan menghindari benturan kepentingan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (Good Corporate Governance).

Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik tersebut adalah suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Asas-asas tersebut adalah independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas.

Tentu salah satu momentum yang dapat dimanfaatkan dalam mempertahankan independensi OJK yaitu memastikan serangkaian proses seleksi Dewan Komisioner OJK dapat berjalan secara transparan dan akuntabel yang dilaksanakan oleh Tim Panitia Seleksi (Pansel).

Maka demi mewujudkan itu semua, Presiden perlu hati-hati menentukan Tim Pansel melalui rekam jejaknya dalam menyeleksi calon komisioner OJK. Hal ini penting dilakukan agar Pansel yang akan menyeleksi betul-betul terbebas dari potensi benturan kepentingan guna menjaga marwah independensi OJK ke depan.

Di penghujung tahun 2021, Presiden telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 145/P Tahun 2021 tentang Pembentukan Pansel Calon Anggota Dewan Komisioner OJK Periode 2022-2027.

Alhasil, ternyata dari beberapa nama yang dirilis oleh Presiden, terdapat beberapa nama yang masih menjabat pada institusi jasa keuangan yang notabene menjadi objek pengawasan OJK.

Dalam batas penalaran yang wajar, hal tersebut memunculkan kerawanan terjadinya potensi benturan kepentingan. Di mana, benturan kepentingan bakal sulit dibendung, bila Pansel memiliki relasi yang terafiliasi dengan pihak yang akan dipilih dan yang nantinya juga menjadi pengawas terhadapnya.

Padahal, bila dicermati secara seksama rumusan Pasal 11 ayat (3) UU OJK menyebutkan, Pansel beranggotakan sembilan orang yang terdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat.

Dari ketiga unsur tersebut, semestinya untuk unsur masyarakat, Presiden betul-betul mencari person yang independen dan tidak punya relasi kuat dengan OJK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Seperti unsur akademisi atau praktisi yang menggeluti isu di bidang keuangan dan perbankan.

Namun perlu digarisbawahi juga, unsur akademisi atau praktisi sebagai perwakilan masyarakat disini harus terlepas juga dari pengaruh atau benturan kepentingan apapun. Misalnya akademisi atau praktisi namun juga berlabel komisaris. Meskipun tidak ada standar baku dalam rumusan norma OJK perihal itu, namun hal tersebut tidak dibenarkan secara etika dan hukum.

Sebab, yang namanya benturan kepentingan adalah pemicu dan bibit terjadinya korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Maka dari itu, OJK sebagai lembaga yang menjunjung tinggi prinsip independensi, transparansi dan akuntabilitas tidak boleh terbelenggu akibat konflik kepentingan.

Sebab, implikasinya akan sangat meluas, mulai dari penetapan pansel terpilih, penyelenggaraan tugas dan fungsi, hingga berdampak pada pengaduan masyarakat terhadap dinamika pelayanan jasa keuangan yang semakin canggih. Bila itu semua tidak dimitigasi sejak proses seleksi ini, maka bom waktu independensi OJK lambat laun menjadi terdegradasi.

Atas dasar itu, maka alangkah baiknya Presiden Joko Widodo mempertimbangkan keputusannya perihal penetapan tim pansel OJK tersebut. Sebab, implikasinya justru akan berujung pada penetapan dewan komisioner terpilih yang dinilai cacat prosedur sehingga keputusan penetapan dewan komisioner terpilih tersebut nantinya menjadi batal atau dapat dibatalkan, karena ada sesuatu yang mengganjal dalam pengisian pansel yaitu potensi benturan kepentingan.

Mengembalikan Khittah OJK

Dalam batas penalaran yang wajar, fungsi OJK tidak terlepas dari fungsi pemerintahan (sturen) yang melekat pada wewenang pemerintah (bestuursbevoegdheid).

Dalam melaksanakan fungsi sturen, pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Pengawasan itu dilaksanakan melalui kewenangan perizinan (vergunning) yang dilekatkan pada kewenangan OJK dalam mengawasi sektor keuangan. Kewenangan tersebut dalam hukum administrasi amat diperlukan sebagai upaya taat terhadap norma hukum administrasi negara.

Upaya itu ditujukan dalam rangka memberikan perlindungan hukum (rechtsbescherming) terhadap rakyat yang menjadi konsumen/pengguna jasa sektor keuangan dari praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip tatakelola keuangan perbankan dan non perbankan yang baik (good financial governance). Hal itu terlihat dari kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan.

Itu sebabnya, begitu urgennya peran dan fungsi OJK, maka pengisian jabatan pimpinan di OJK pun harus mencerminkan pola yang baik juga. Meskipun disadari bahwa UU OJK yang mengatur tentang pola pengisian jabatan tidak begitu spesifik dan detail merumuskan, namun sebetulnya secara internal OJK bisa saja membentuk regulasi internal dalam bentuk Peraturan OJK tentang Pengisian Jabatan Dewan Komisioner OJK secara terbuka dan kompetitif sehingga prosesnya dinilai fair dan celah benturan kepentingan dapat dimitigasi.

Memang sedari awal terdapat beberapa ketidaksempurnaan norma soal pengisian jabatan dewan komisioner OJK tersebut. Sebagai lembaga negara yang independen, OJK dalam mekanisme pemilihan Dewan Komisioner OJK sebagai pemimpin OJK saat ini masih kurang independen.

Dalam Pasal 15 UU OJK, syarat untuk menjadi anggota Dewan Komisioner OJK tidak ada suatu ketentuan di mana mensyaratkan calon anggota untuk bebas dari unsur kekuasaan politik maupun golongan. Hal ini sangat berseberangan dengan prinsip OJK sebagai lembaga pengawas jasa keuangan yang mandiri dan independen, sehingga dikhawatirkan bila anggota Dewan Komisioner OJK tidak independen akan mempengaruhi putusan Dewan Komisaris mengandung unsur kepentingan sehingga tidak obyektif.

Terlebih dalam laporan kegiatan OJK, tidak ada suatu ketentuan atau mekanisme di mana DPR sebagai unsur masyarakat dapat menolak atau memutuskan terhadap laporan tersebut, sehingga pengawasan kegiatan OJK tidak bisa berjalan optimal. Apalagi pengawasan yang dilakukan oleh OJK dapat mengawasi bidang regulasi, monitoring dan sanksi, sehingga objektivitas dalam mengawasi suatu masalah adalah hal yang perlu diutamakan oleh OJK.

Pola seleksi pimpinan secara berintegritas tersebut harus mengacu pada sistem seleksi yang mempertimbangkan aspek kapabilitas, kompetensi, integritas, komitmen maupun sederet kriteria lain yang diperlukan. Untuk itu, analisa mendalam berdasarkan model Regulatory Impact Analysis dapat dipergunakan untuk mencermati kualitas produk hukum yang ada saat ini sambil mengembangkan gagasan konseptual sistem seleksi pimpinan OJK yang semakin berkualitas.

Kapabilitas, integritas dan kompetensi dari para komisioner OJK dipadukan dengan prinsip independensi fungsional dari OJK akan menjadi jaminan bagi efektivitas bagi eksistensi dan fungsi OJK yang kini semakin diperkuat derajat konstitusionalitasnya melalui Putusan MK Nomor 25/PUU-XII/2014.

Apalagi kepercayaan masyarakat terhadap OJK saat ini masih cukup tinggi. Tentu trust masyarakat tersebut mesti tetap dijaga oleh Pemerintah sejak dari proses awal ini. Jangan sampai hanya karena Pansel setitik, rusak OJK sebelanga.

*)Beni Kurnia Illahi, Dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait