Para Kandidat Akui Money Politics Muncul Jelang Munas PERADI
Berita

Para Kandidat Akui Money Politics Muncul Jelang Munas PERADI

Namun semua kandidat mengaku bersih dari praktik tersebut.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Empat kandidat Ketua Umum PERADI, Juniver Girsang, Hasanuddin Nasution, Humphrey Djemat, dan Luhut Pangaribuan dalam acara debat yang diselenggarakan PSHK, IJSL, dan Hukumonline, Rabu (18/3). Foto: RES
Empat kandidat Ketua Umum PERADI, Juniver Girsang, Hasanuddin Nasution, Humphrey Djemat, dan Luhut Pangaribuan dalam acara debat yang diselenggarakan PSHK, IJSL, dan Hukumonline, Rabu (18/3). Foto: RES
Musyawarah Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Munas PERADI) tinggal menghitung hari. Suasana kompetisi di antara kandidat calon ketua umum pun tak lepas dari hiruk pikuk kabar money politics. Para kandidat tak menampik adanya kabar-kabar tersebut.

Salah seorang kandidat Ketua Umum PERADI, Hasanuddin Nasution, mengakui bahwa pengurus PERADI di daerah sudah banyak yang bersikap “wani piro”. Artinya, mereka tak malu-malu menunjukkan gelagat agar kandidat memberikan uang agar dipilih dalam munas. Menurut Hasanuddin, DPC yang bersikap semacam itu banyak sekali.

Ia memang menggarisbawahi bahwa tidak semua DPC bersikap demikian. Akan tetapi, berdasarkan pengamatannya ia menyimpulkan kebanyakan DPC telah dipengaruhi praktik transaksional dalam perhelatan Munas. Bahkan, Hasanudin bercerita, pengurus daerah yang selama ini ia perhatikan dengan intens pada akhirnya menyerah pada pengaruh uang.

“Saya mendengarnya bukan hanya satu, tapi banyak DPC yang bersikap 'wani piro' untuk tidak menyebut semua. Tentu tidak semua,” ujar Hasanuddin dalam acara debat calon Ketua Umum PERADI, Rabu (18/3), yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Indonesia Jentera School of Law (IJSL), dan Hukumonline.

Kandidat lain, Luhut MP Pangaribuan, juga mengungkapkan hal sama. Ia mengaku menemukan pengurus daerah yang meminta uang dengan dalih sumbangan untuk membangun kantor agar dirinya bisa datang melakukan temu kandidat dengan para pengurus di sana. Luhut melihat hal tersebut mengindikasikan adanya praktik money politics.

“Saya tidak menghakimi. Tapi kalau sebelum datang harus menyumbang dan jika tidak menyumbang tidak boleh datang kan sudah berbeda iktikadnya. Mestinya yang menyumbang maupun tidak menyumbang sama-sama harus dapat kesempatan yang sama. Kalau dibedakan berarti ada korelasi antara menyumbang dan kedatangan calon,” tandasnya.

Humphrey Djemat mengakui bahwa praktik money politics memang bermunculan jelang Munas PERADI. Ia mengatakan, banyak laporan yang masuk kepadanya bahwa ada kandidat yang memberikan uang sampai Rp100 juta untuk satu DPC agar dipilih dalam Munas. Bahkan, ada pula pengurus daerah yang ditawari ratusan juta rupiah.

“Saya tidak mau menuduh calon lain, tetapi banyak laporan ke saya dari DPC, sudah ditawari uang ratusan juta. Bayangkan kalau satu DPC dikasih Rp100 juta, PERADI ada 67 DPC berarti harus keluar uang berapa?” ujarnya.

Humphrey menuturkan, para pengurus daerah biasanya mengungkapkan alasan untuk menerima uang tersebut sebagai modal bagi mereka untuk membiayai keberangkatan menghadiri Munas.
Pasalnya, pengurus daerah tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk memberangkatkan diri sehingga harus mencarinya dari kandidat. Menurutnya, hal ini lantaran selama ini sistem pengelolaan organisasi tidak berusaha untuk menguatkan DPC.

Kendati para kandidat mengakui kabar mony plotics itu santer beredar, namun masing-masing mengklaim dirinya 'bersih'. Humphrey menegaskan, ia membawa konsep perubahan sebagai modal untuk maju menjadi kandidat. Dengan konsep itu, ia yakin layak untuk dipilih.

“Enggak mungkin saya melakukan money politics. Coba saja lihat majalah yang saya buat, pemikiran saya. Itu kan benar-benar konsep untuk perubahan. Masa di satu sisi saya kasih idealism tapi di sisi lain saya kasih uang, kan enggak bisa. Itu biasanya dilakukan oleh orang yang tidak punya konsep. Konsepnya adalah uang,” tandasnya.

Luhut pun menegaskan dirinya tak mau melakukan money politics karena ingin melakukan perubahan. Ia optimis, para advokat yang nanti akan menggunakan hak suaranya dalam munas memiliki iktikad baik agar ada perubahan bagi PERADI. Luhut percaya Munas bukan menjadi ajang bagi pemilik uang paling banyak untuk menggalang dukungan.

“Saya percaya, ada iktikad baik, karena ini kan organisasi orang-orang berpendidikan yang tahu iktikad baik. Jadi akan memilih sesuai dengan kebutuhan organisasi ini,” paparnya.

Demikian pula halnya dengan Hasanuddin Nasution yang memilih untuk tidak mendatangi pengurus daerah yang sudah terpapar praktik money politics. Ia merasa tak takut untuk melawan kandidat lain yang mengandalkan uang untuk menang. Bahkan, dirinya tegas mengatakan praktik tersebut harus dihentikan.

“Ada DPC yang mendukung saya selama bertahun-tahun dan saya merawatnya tetapi ketika saya mau datang ke sana, mereka bilang taruh uang dulu di sini baru boleh datang. Makanya saya tidak mau datang,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait